Jakarta - Reportase7.com
Pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa (PPS) bukan isu emosional daerah, bukan pula agenda elitis segelintir tokoh. Ini adalah perintah konstitusi yang secara sadar dan sistematis diabaikan negara. Fakta ini mengemuka setelah puluhan tahun aspirasi rakyat Pulau Sumbawa terkatung-katung tanpa kepastian, meski seluruh syarat hukum, administratif, dan historis telah terpenuhi.
Pasal 18 ayat (1), (2), dan (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara eksplisit menjamin pembagian daerah, otonomi seluas-luasnya, serta hak rakyat daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri. Namun dalam praktik, konstitusi ini tumpul ke atas dan tajam ke bawah—tajam menekan rakyat, tumpul saat berhadapan dengan kepentingan politik pusat.
341 DOB Diperjuangkan, Pulau Sumbawa Sengaja Dipinggirkan?
Data nasional menunjukkan terdapat 341 Daerah Otonomi Baru (DOB) yang hingga kini menunggu kejelasan dari pemerintah pusat. Provinsi Pulau Sumbawa adalah bagian sah dari agenda nasional tersebut. Namun pertanyaannya, mengapa PPS terus disandera moratorium, sementara daerah lain diam-diam mendapat karpet merah kekuasaan?
Pulau Sumbawa menguasai lebih dari 70 persen luas wilayah Provinsi NTB, kaya sumber daya alam, strategis secara geopolitik, namun ironisnya diperlakukan sebagai halaman belakang provinsi. Pelayanan publik lamban, pembangunan timpang, kesejahteraan rakyat tertinggal, dan eksploitasi SDA kerap tak memberi manfaat adil bagi masyarakat lokal, Kamis 18 Desember 2025.
Investigasi lapangan menunjukkan, struktur pemerintahan NTB yang terpusat di Pulau Lombok gagal menjawab kebutuhan riil rakyat Pulau Sumbawa. Sentralisasi kekuasaan regional ini telah melahirkan ketimpangan sistemik yang berlangsung lintas generasi.
Sejarah yang Dikhianati Negara
Jauh sebelum NTB berdiri pada 1958, Pulau Sumbawa telah memiliki kedaulatan politik dan struktur pemerintahan sendiri. Kerajaan Samawa dan Kerajaan Bima bukan sekadar catatan sejarah, melainkan entitas berdaulat dengan legitimasi sosial dan budaya yang kuat.
Pembentukan Provinsi NTB dengan ibu kota di Mataram, Pulau Lombok, menjadi titik awal ketidakadilan sejarah bagi Pulau Sumbawa. Hingga hari ini, negara belum pernah secara serius melakukan koreksi atas kesalahan historis tersebut.
2014: PPS Hampir Lahir, Lalu Dibunuh Secara Politik
Tahun 2014 menjadi saksi bisu: Provinsi Pulau Sumbawa nyaris disahkan. Seluruh prasyarat telah dipenuhi. Namun di menit-menit terakhir, PPS kandas—bukan karena kekurangan syarat, melainkan karena ketiadaan keberanian politik dan kuatnya tarik-menarik kepentingan kekuasaan.
Sejumlah sumber menyebut, PPS tumbang di meja elit, bukan di ruang kajian akademik. Sejak itu, DPR RI dan pemerintah pusat terkesan melempar tanggung jawab, menjadikan moratorium DOB sebagai tameng untuk menutupi ketidakmauan politik.
DPR RI Dipertanyakan: Wakil Rakyat atau Penjaga Status Quo?
Hari ini, generasi baru Pulau Sumbawa kembali berdiri di hadapan DPR RI bukan untuk mengemis, tetapi menagih janji konstitusi. Aspirasi puluhan tahun tidak boleh terus diparkir atas nama stabilitas semu yang justru melanggengkan ketidakadilan.
Rakyat mempertanyakan, apakah DPR RI masih menjadi rumah kedaulatan rakyat, atau telah berubah menjadi benteng kepentingan kekuasaan?
Tuntutan Rakyat Pulau Sumbawa
Dengan ini, rakyat Pulau Sumbawa menyampaikan tuntutan tegas dan terbuka kepada negara:
1. Ketua DPR RI dan Presiden Republik Indonesia wajib menjalankan amanat UUD 1945.
2. Segera mengesahkan Undang-Undang Pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa.
3. Hentikan pembiaran struktural yang merugikan rakyat Pulau Sumbawa.
Tidak besok. Tidak nanti. Tapi sekarang.
Karena Provinsi Pulau Sumbawa bukan hadiah politik, melainkan hak konstitusional rakyat. Bukan ancaman bagi NKRI, melainkan penguat keadilan republik. Bukan ambisi segelintir elit, tetapi panggilan sejarah yang tak bisa dibungkam.
Pewarta: Muliyadi
Editor: R7 - 01

0Komentar