Parlemen Rakus di Atas Penderitaan Publik

Oleh: Ipa Bahya
Dosen Universitas Hasanuddin Makassar

Mataram - Reportase7.com 
Negara ini berdiri di atas penderitaan, tapi tak lagi tahu diri. Di tengah jutaan rakyat yang bergulat dengan harga kebutuhan pokok yang melambung, akses pendidikan yang mahal, dan pekerjaan yang tak pasti, para pejabat negara sibuk merancang tunjangan—bukan untuk rakyat, tetapi untuk kenyamanan pribadi mereka. Angka puluhan juta rupiah per bulan hanya untuk tunjangan perumahan, dalam negeri yang masih dipenuhi barak pengungsian dan rumah-rumah reyot, bukan sekadar tak etis—itu penghinaan.
 
Gedung parlemen yang seharusnya menjadi simbol aspirasi rakyat kini terasa seperti benteng kekuasaan, dibangun bukan untuk mendengar, melainkan untuk menolak suara-suara dari luar. Ketika rakyat memekikkan keadilan di jalanan, yang datang bukan dialog, tetapi tembok, kawat berduri, dan gas air mata. Pemerintah tak hanya kehilangan empati, tetapi juga kehilangan rasa malu.
 
Seorang pengemudi ojek online tewas tertabrak mobil aparat dalam unjuk rasa damai. Ia bukan nama besar, bukan tokoh politik, bukan pejabat publik. Hanya seorang pekerja harian yang meminjam keberanian dari kemiskinan dan ketidakadilan. Dan ketika nyawanya hilang, negara merespons dengan “penyelidikan.” Seolah kematian rakyat kecil hanya sebatas prosedur administratif. Tak ada pernyataan duka yang tulus. Tak ada penyesalan yang nyata. Hanya penundaan, pengalihan isu, dan retorika.
 
Kematian itu bukan kecelakaan, tapi akibat langsung dari ketulian penguasa. Ketika kritik dipandang sebagai ancaman, ketika aspirasi dianggap makar, maka negara telah kehilangan akarnya. Negara tidak dibangun untuk memperkaya segelintir orang yang duduk di kursi empuk. Negara berdiri karena rakyat percaya pada janji keadilan sosial. Dan ketika janji itu dilanggar, rakyat hanya punya dua pilihan, diam atau melawan.
 
Hari ini, diam bukan lagi pilihan. Setiap langkah demonstrasi di jalanan bukan sekadar protes terhadap satu kebijakan, tetapi letupan dari akumulasi luka kolektif dari korupsi yang tak tersentuh hukum, dari harga pangan yang tak masuk akal, dari layanan publik yang tak pernah maksimal, hingga janji-janji politik yang selalu berakhir sebagai kebohongan elegan.
 
Tak sedikit politisi yang tersinggung ketika dikritik. Mereka menuntut penghormatan tanpa mau dihormati karena kinerja. Mereka menginginkan legitimasi tanpa akuntabilitas. Padahal, kekuasaan yang lahir dari suara rakyat semestinya tunduk pada rakyat. Sayangnya, banyak dari mereka lebih nyaman melayani kepentingan oligarki daripada menyelami realitas kehidupan masyarakat yang mereka wakili.
 
Negara ini tak kekurangan sumber daya. Tak kekurangan tenaga kerja. Tak kekurangan generasi cerdas dan penuh potensi. Yang hilang hanyalah integritas. Yang dirusak adalah sistem. Ketika jabatan menjadi alat untuk memperkaya diri dan memperluas jaringan kekuasaan, maka rakyat hanya dilihat sebagai angka statistik: sekadar jumlah dalam laporan pembangunan, bukan manusia dengan kebutuhan dan martabat.
 
Lihat saja bagaimana kasus korupsi dibiarkan membusuk. Skandal Pertamina, yang nilainya hampir seribu triliun, diperlakukan dengan keheningan mematikan. Tak ada penangkapan besar, tak ada pengunduran diri, tak ada akuntabilitas. Yang ada justru pengalihan opini publik, seolah-olah masalah terbesar negeri ini hanyalah kemacetan lalu lintas atau konten viral.
 
Media pun tak lepas dari permainan. Beberapa media besar memilih diam atau menyamarkan kenyataan dalam eufemisme. Kebebasan pers secara de facto mulai terkikis oleh tekanan halus, iklan pemerintah, dan ancaman tidak langsung. Jurnalis yang berani membongkar kebenaran dibungkam, diseret ke ranah hukum, atau dibiarkan tanpa perlindungan.
 
Sementara itu, rakyat terus diminta bersabar. Diminta memahami “situasi fiskal negara.” Diminta tidak menciptakan keresahan. Tapi di sisi lain, pejabat terus menciptakan alasan untuk menaikkan gaji, tunjangan, dan fasilitas. Kesabaran rakyat dijadikan tameng untuk melanggengkan privilese. Seolah-olah pengorbanan hanya boleh datang dari bawah, sementara kenyamanan adalah hak eksklusif penguasa.
 
Yang paling menyedihkan adalah bagaimana ketidakadilan perlahan menjadi normal. Ketika rakyat mulai terbiasa ditindas, ketika suara-suara kecil dibungkam satu per satu, maka yang tersisa hanya apatisme yang mematikan. Dan saat rasa percaya pada negara benar-benar hilang, tak ada kekuasaan yang cukup kuat untuk membendung kekacauan yang akan lahir dari kehampaan itu.
 
Banyak yang mencoba menenangkan situasi dengan jargon: “Ini hanya masa transisi,” atau “Pemerintah akan mengevaluasi.” Tapi realitas tidak menunggu evaluasi. Realitas menuntut perubahan nyata. Dan perubahan tidak akan datang dari mereka yang menikmati sistem rusak ini.
 
Demonstrasi yang merebak di berbagai kota bukanlah bentuk anarkisme, seperti yang dituduhkan sebagian elite. Justru, itu adalah bentuk paling jujur dari demokrasi—ketika saluran formal sudah buntu, jalanan menjadi forum terbuka terakhir. Jangan heran jika barisan demonstran dipenuhi oleh mahasiswa, buruh, guru, bahkan orang-orang tua yang tak lagi bisa membeli obat. Bukan karena mereka ingin menciptakan kekacauan, tetapi karena mereka sudah muak hidup dalam kepura-puraan.
 
Mereka tidak gila hormat. Tidak minta dilayani. Mereka hanya ingin hidup yang wajar. Upah yang cukup. Layanan publik yang manusiawi. Pemimpin yang bisa dipercaya. Sistem hukum yang adil. Permintaan itu sederhana. Tapi tampaknya terlalu mahal untuk sebuah negara yang anggaran makannya saja bisa menembus miliaran rupiah per rapat.
 
Tak ada negara yang hancur karena demonstrasi. Tapi banyak negara runtuh karena mengabaikan peringatan dari rakyatnya. Ketika suara dari jalanan hanya dianggap bising, bukan panggilan untuk sadar, maka kerusakan itu bukan lagi soal kapan, tetapi hanya soal waktu.
 
Negara ini tak sedang diuji oleh oposisi. Negara ini sedang diuji oleh nuraninya sendiri. Apakah masih punya malu? Atau sudah kehilangan segalanya, kecuali rakus dan kuasa?