Identitas yang Tersingkap, Suara Komunitas di Balik Cek Bocek

Oleh: Aldiansyah, 
(Pemuda Adat Cek Bocek Selesek Reen Sury) 


Sumbawa - Reportase7.com

Di Sumbawa, nama “Cek Bocek” kerap muncul di media dan percakapan publik. Bagi sebagian orang luar, istilah ini terdengar jenaka, bahkan bisa memancing tawa ringan. Tapi bagi komunitas adat yang bersangkutan, “Cek Bocek” bukan sekadar kata, ia adalah nama seorang leluhur, tokoh yang membentuk sejarah, praktik budaya, dan identitas kolektif mereka.

Masalah muncul ketika persepsi publik membentuk narasi tentang “Cek Bocek” tanpa memahami konteks, sehingga nama leluhur itu sering direduksi atau dijadikan bahan lelucon. Padahal, narasi yang baik seharusnya memberi ruang bagi minoritas untuk bersuara, bukan meminggirkan atau mengerucutkan identitas mereka menjadi bahan olok-olok. Nama leluhur adalah jembatan simbolik, menghubungkan generasi sekarang dengan warisan, ritual, dan legitimasi sosial komunitas.

Dari perspektif antropologi kritis, komunitas minoritas berhak menafsirkan sejarah dan identitasnya sendiri. Pierre Bourdieu menegaskan bahwa nama dan simbol memiliki kuasa, sementara Clifford Geertz menekankan bahwa identitas adalah jaringan makna yang membentuk praktik sosial. Mengurangi nama leluhur menjadi istilah jenaka bukan hanya sekadar salah kaprah. Ia memutus tautan simbolik yang vital bagi komunitas, sebuah bentuk ketidakadilan simbolik yang sering tak disadari.

Sebagai pemuda adat yang memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga sejarah dan identitas komunitas, saya menegaskan, suara minoritas harus menjadi pusat narasi, bukan objek olok-olok. Menghormati nama leluhur, seperti “Cek Bocek”, adalah pengakuan atas eksistensi, sejarah, dan hak komunitas yang terkucilkan.

Sejarah dan identitas bukanlah bahan hiburan. Mereka adalah hak yang melekat dan harus dihargai, terutama oleh penulis, jurnalis, maupun akademisi yang ingin menulis tentang masyarakat adat. Dalam dunia yang sering menilai dari luar, advokasi dan narasi publik harus menegaskan prinsip sederhana tapi fundamental. Identitas adat tidak diukur dari persepsi orang luar, tetapi dari sejarah, bahasa, dan praktik komunitas itu sendiri.

Memberikan ruang bagi suara komunitas adalah langkah kecil namun krusial untuk memperbaiki ketidakadilan simbolik yang telah berlangsung lama. Menghormati nama leluhur, memahami konteks, dan menempatkan minoritas sebagai subjek bukan objek penelitian bukan hanya soal etika akademik, tapi juga soal keadilan sosial. 

Menggali identitas adalah tindakan politik sekaligus moral, mendengar yang tersisih adalah awal dari pengakuan yang sesungguhnya.