Mengurai Jaringan Hantu APBD NTB: Penyalur Ditahan, Siapa Bos dan Jenderal yang Terlindung

Oleh: Febriyan Anindita, S.H


Mataram - Reportase7.com
​Penahanan tiga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Nusa Tenggara Barat (NTB) Indra Jaya Usman, Muhammad Nashib Ikroman, dan terbaru Hamdan Kasim oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB Mereka dituding berperan sebagai penyalur atau pemberi “Dana Siluman” dari anggaran Pokok-pokok Pikiran (Pokir) APBD 2025. Namun, penetapan status hukum ini justru membuka misteri yang jauh lebih besar. Jika para anggota dewan ini hanyalah kurir atau pengepul di level internal, lantas siapa Sumber Hulu dari dana tunai yang telah disita senilai lebih dari Rp 2 Miliar itu? 

​Kasus ini adalah pelajaran pahit tentang bagaimana hak aspirasi rakyat telah dibajak menjadi komoditas politik, diperdagangkan secara terstruktur, dan dilindungi oleh kolusi sistemik. Fokus Kejati saat ini pada Pasal 5 UU Tipikor (gratifikasi/pemberi) mengancam kasus ini berhenti hanya di lapisan kulit. Untuk membongkar jaringannya, penyidikan harus berani menusuk ke tiga jantung masalah: Kapital Swasta (Kontraktor), Eksekutif (TAPD), dan Korupsi Kolektif. 

​Dana siluman Rp 2 Miliar lebih yang dikumpulkan IJU, MNI, dan HK untuk kemudian didistribusikan kepada 15 anggota dewan baru bukanlah uang yang muncul dari kotak ajaib. Kejati sendiri menduga uang tersebut merupakan fee proyek yang dipersiapkan untuk pekerjaan Pokir yang bakal dicairkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) 2025. 

​Inilah modus Ijon klasik di lingkungan penganggaran daerah. Kontraktor (Kapital Swasta) tidak lagi menunggu proses lelang yang bersih; mereka membeli komitmen proyek di muka dengan memberikan fee tunai kepada elit dewan. Anggota dewan yang berfungsi sebagai pengepul ini kemudian memastikan proyek si penyuap lolos dan disisipkan sebagai alokasi Pokir yang sah. 

​Pola ini menunjukkan uang tersebut bukan berasal dari perampokan kas daerah secara langsung, melainkan dari dana suap segar yang disiapkan pihak swasta sebagai ‘investasi’ politik. Kejati secara tegas menyatakan tengah memburu dalang utama yang bermain di balik layar dalam perencanaan anggaran Pokir ini. Jika dugaan terkuat mengarah pada kontraktor, maka penetapan tersangka dari pihak swasta (penyuap) adalah langkah krusial untuk mengurai benang kusut ini hingga ke akar. 

​Namun, Pokir tidak dapat disisipkan menjadi program APBD tanpa kerelaan sistem birokrasi, atau setidaknya kealpaan yang disengaja. Dana siluman ini hanya dapat terealisasi jika ada celah yang dibuka oleh Eksekutif—Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). 

​TAPD, yang diketuai oleh Sekretaris Daerah Provinsi dan melibatkan Kepala BPKAD, Bappeda, serta Bapenda, adalah gatekeeper anggaran. Pemanggilan jajaran TAPD oleh Kejati berdasarkan adanya dugaan pergeseran anggaran yang menjelma menjadi ‘uang siluman’ mengindikasikan adanya kolusi Eksekutif-Legislatif. 

​Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah lama memperingatkan praktik di NTB di mana Pokir rawan dijadikan yayasan fiktif atau proyek mark-up. Fenomena ini menguatkan dugaan bahwa Pokir tidak hanya dijual oleh dewan, tetapi juga diamini secara sistemik oleh para Jenderal Anggaran di Eksekutif, yang memiliki kekuasaan untuk memverifikasi dan mencairkan dana. 

​Jika Kejati NTB membiarkan penyidikan berhenti pada status IJU, MNI, dan HK sebagai pemberi internal (Pasal 5), maka sesungguhnya penegakan hukum telah melindungi penyuap dan fasilitator anggaran yang sesungguhnya. 

​Korupsi Pokir adalah kejahatan terorganisir yang merugikan rakyat ganda: anggaran dipakai untuk kepentingan rente politik, dan kualitas pembangunan merosot akibat mark-up harga. 

​NTB membutuhkan kejernihan di tengah turbulensi politik anggaran ini. Pemberantasan korupsi harus menembus dinding kolusi antara Politisi Serakah, Pebisnis Culas, dan Birokrat Kompromis. 

Jangan biarkan para kurir menanggung seluruh dosa, sementara Bos dan Jenderal tetap aman berlindung di balik meja kerja mereka.