Oleh: Ardiansyah
Direktur NasPol NTB
Mataram - Reportase7.com
Ekonomi Nusa Tenggara Barat (NTB) berada di titik persimpangan, melanjutkan ketergantungan terhadap ekstraksi tambang yang rapuh dan tidak inklusif, atau membangun masa depan ekonomi yang berkelanjutan dengan mengandalkan kekuatan sumber daya hayati dan industri kreatif berbasis lokal. Sayangnya, arah kebijakan saat ini tampaknya masih belum cukup berani meninggalkan jalan lama.
Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menjadi pengingat penting. Pada Triwulan I 2025, ekspor terbesar NTB masih berasal dari kelompok perhiasan/permata, terutama mutiara yang belum diolah, dengan nilai US$ 1,14 juta atau sekitar 29,32 persen dari total ekspor daerah. Komoditas ini diekspor ke Jepang, Hong Kong, dan Thailand negara-negara yang secara strategis mengolah mutiara mentah dari NTB menjadi perhiasan bernilai tinggi, lalu menjualnya kembali ke pasar global dengan harga berkali lipat.
Kenyataan ini seharusnya cukup menggugah. NTB memiliki komoditas unggulan yang diakui dunia, tetapi belum mampu mengendalikan rantai nilai produksi dan distribusinya. Selama ini, NTB hanya menjadi pengirim bahan mentah, bukan pencipta nilai. Ini adalah potret klasik dari ketergantungan struktural yang terus direproduksi dalam sistem ekonomi daerah.
NTB dan Ilusi Kemakmuran Tambang
Ketika sebagian elit daerah masih menjadikan sektor pertambangan sebagai tumpuan pembangunan, kenyataan justru menunjukkan sebaliknya. Ketergantungan pada tambang bukan hanya menciptakan kerentanan ekonomi, tetapi juga memperdalam ketimpangan wilayah dan kerusakan lingkungan.
Tambang tidak menciptakan nilai tambah di dalam daerah. Ia hanya menguras sumber daya dan meninggalkan ekses sosial yang dalam banyak kasus lebih besar daripada kontribusinya terhadap kesejahteraan masyarakat lokal. Terlebih, tambang adalah sektor padat modal, bukan padat karya. Ia tidak menyerap tenaga kerja lokal dalam jumlah besar, dan kontribusinya terhadap pemberdayaan ekonomi rakyat sangat terbatas.
Sebaliknya, mutiara, hasil laut, dan komoditas pertanian NTB memiliki peluang besar untuk menggerakkan ekonomi lokal yang lebih merata. Industri pengolahan mutiara, misalnya, bisa menjadi jalan keluar dari stagnasi ekonomi NTB jika dikelola dengan visi industrialisasi yang konsisten.
Mutiara dan Potensi yang Terabaikan
Data BPS tadi tidak hanya bicara angka, tapi juga menunjukkan arah mutiara adalah primadona ekspor NTB di pasar dunia. Komoditas ini tidak memerlukan eksplorasi destruktif seperti tambang. Ia tumbuh di perairan NTB yang bersih dan memiliki reputasi kualitas tinggi secara internasional.
Masalahnya, NTB hingga kini belum memiliki balai mutu atau balai industri mutiara yang dapat meningkatkan kualitas dan klasifikasi hasil produksi. Akibatnya, sebagian besar mutiara diekspor dalam bentuk mentah, belum melalui proses desain, pemolesan, atau pengemasan bernilai tinggi.
Inilah titik kritis yang membutuhkan intervensi negara, khususnya pemerintah daerah. Industrialisasi sektor mutiara dan perhiasan laut harus menjadi prioritas. Bukan semata sebagai kebijakan ekonomi, tetapi sebagai strategi kemandirian daerah. Tanpa balai pengembangan industri mutiara, NTB akan terus menjadi penonton dari nilai tambah yang justru dinikmati negara lain.
Industrialisasi, Bukan Ekstraksi
Gubernur NTB harus mampu menangkap peluang ini. Lebih dari sekadar menggembar-gemborkan program populis atau pencitraan seremonial, pemerintah daerah harus mengeksekusi strategi industrialisasi secara konkret dan terukur. Caranya: menghubungkan produsen mutiara dengan pelaku industri perhiasan, membangun pusat riset dan pelatihan desain perhiasan, serta membuka akses pasar internasional melalui promosi berbasis kualitas.
NTB memiliki komunitas perajin yang kreatif. Sayangnya, mereka bekerja dalam ekosistem yang terfragmentasi, tidak terhubung dengan rantai nilai global. Tanpa dukungan kebijakan industri yang terarah, para perajin ini akan terus terpinggirkan dari pasar yang mereka layani secara tidak langsung melalui ekspor bahan mentah.
Lebih jauh, hilirisasi mutiara adalah bagian dari cita-cita besar industrialisasi sektor kelautan, sebagaimana telah dicoba pada masa pemerintahan sebelumnya. Sayangnya, kebijakan saat ini belum menunjukkan kesinambungan visi ke arah itu. Sebaliknya, kita kembali disibukkan dengan wacana tambang baru dan eksplorasi energi, seolah-olah tidak ada pilihan lain untuk membiayai pembangunan daerah.
Mengubah Arah, Menjemput Masa Depan
NTB harus berani mengubah arah. Tambang bukan masa depan. Tambang adalah jalan pintas yang mahal, dengan konsekuensi sosial dan ekologis yang sulit diperbaiki. Masa depan NTB ada pada pengolahan sumber daya hayati secara berkelanjutan dan berkeadilan.
Sektor seperti perikanan, peternakan, pertanian, serta industri kreatif dan wisata berbasis budaya, adalah sumber pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang lebih inklusif. Mereka bukan hanya menghasilkan barang, tetapi juga menciptakan nilai, identitas, dan keberlanjutan.
Tentu saja perubahan ini tidak akan mudah. Dibutuhkan keberanian politik, perencanaan matang, dan komitmen anggaran yang serius. Pemerintah tidak bisa hanya menunggu investasi datang dari luar. Ia harus menciptakan ekosistem industri yang sehat di dalam daerah mulai dari pendidikan vokasi, insentif produksi, hingga dukungan riset dan pasar.
Ekonomi Bukan Sekadar Angka
Pertumbuhan ekonomi bukan hanya soal angka-angka makro. Ia tentang bagaimana nilai diciptakan, oleh siapa, dan untuk siapa. NTB yang terus-menerus mengejar pertumbuhan dari tambang akan menghasilkan pertumbuhan yang semu rapuh, tidak merata, dan penuh ketimpangan.
Sebaliknya, NTB yang berani bertumpu pada kekuatan lokal mutiara, laut, hasil bumi, dan kreativitas masyarakatnya akan menciptakan pertumbuhan yang adil dan lestari. Dan itu hanya mungkin jika kita berhenti menambang mimpi dari tanah, dan mulai merajut harapan dari laut.
NTB tidak butuh tambang. Yang NTB butuhkan adalah keberanian untuk menempuh jalan yang lebih berdaulat.
0Komentar