Tanah Berco Tidak Kosong
Redaksi
Font size:
12px
Oleh: Febriyan Anindita
(Ketua PHD AMAN Sumbawa)
Sumbawa - Reportase7.com
Hari ini, PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) tengah menyusun Definitive Feasibility Study (DFS) untuk proyek tambang emas dan tembaga Elang Project di wilayah selatan Sumbawa. Namun Masyarakat Adat Cek Bocek Selesek Reen Sury—penjaga wilayah adat yang secara adminsitratif berada di Desa Lawin, Kecamatan Ropang, Kabupaten Sumbawa, Provinsi NTB tidak pernah dilibatkan. Tidak ada musyawarah kampung. Tidak ada konsultasi. Tidak ada ruang untuk mendengar suara mereka yang hidup di tanah itu jauh sebelum peta administratif digambar.
Untuk menguasai ruang, ruang terlebih dahulu harus dibuat tampak kosong. Dan kekosongan itu tidak selalu diciptakan lewat penggusuran fisik. Ia diciptakan dengan menghapus memori: dengan tidak memasukkan Bahasa Berco dalam dokumen resmi, dengan tidak mengakui pemakaman leluhur sebagai situs sejarah, dengan mengaburkan hubungan antara nama tempat dan kehidupan yang menjaganya.
Inilah bentuk ekstraktivisme yang paling halus menghapus makna sebelum menghapus ruang.
Kehadiran yang telah berlangsung ratusan tahun dapat dibuat seolah-olah tidak pernah ada. Ketiadaan tidak ditemukan. Ketiadaan diproduksi.
Kabut pagi di Lawin turun pelan di atas punggungan bukit, rumah panggung, dan jalan setapak yang dibentuk oleh langkah-langkah yang diulang dari generasi ke generasi. Dari ketinggian, seekor elang melengking, bukan untuk menandai waktu, tetapi untuk menandai kehadiran di atas ruang yang telah lama dijaga.
Ruang di sini tidak disebut dengan angka, tetapi dengan nama: Benteng Besi, Tungku Sudat, Ai Klenang, dan lainnya. Nama-nama itu bukan sekadar penanda lokasi, tetapi bagian dari sistem pengetahuan yang menghubungkan manusia dengan tanahnya. Nama adalah cara dunia diingat.
Di hutan yang sunyi, tersebar 3.750 nisan batu di dua puluh kawasan pemakaman leluhur. Tidak ada tulisan, tidak ada prasasti, tetapi bentuk-bentuk batu itu menyimpan perjalanan panjang kehidupan, sebagian silinder, sebagian bertumpuk, sebagian runcing mengarah ke langit, seolah menunjuk sesuatu yang lebih dalam dari kata.
Saya datang ke Lawin enam belas tahun lalu, bukan untuk membawa pengetahuan, tetapi untuk mendengar. Dari mereka saya belajar bahwa di sini, sejarah tidak dituliskan, ia dijaga.
Bahasa Berco bukan hanya bahasa, ia adalah cara membaca ruang, mengingat arah, memahami musim, dan menjaga hubungan dengan leluhur.
Namun negara dan korporasi memahami ruang dengan bahasa yang berbeda. Ruang disebut hutan negara, zona penyangga, kawasan pengembangan. Kategori-kategori ini tampak netral, tetapi sesungguhnya memutus hubungan tubuh dengan tanah. Delegitimasi identitas tidak terjadi karena masyarakat adat kekurangan bukti, tetapi karena negara hanya mengakui bukti yang ditentukan oleh dirinya sendiri.
Mereka yang hidup di tanah ini berabad-abad dapat dibuat seolah tak pernah ada. Dan begitulah ruang adat yang penuh makna disebut “kosong” agar bisa dikuasai.
Perjuangan ini bukan usaha kembali ke masa lalu. Bukan romantisasi adat.
Ini adalah upaya memastikan bahwa masa depan tidak tumbuh tanpa akar, karena masa depan yang kehilangan akar adalah masa depan yang rapuh.
Karena itu, posisi kami jelas:
Identitas adat harus menjadi dasar penataan ruang. Wilayah adat harus diakui dalam RTRW sebagai ruang hidup yang sah.
Penyusunan DFS Elang Project harus melibatkan masyarakat adat sejak tahap awal. Situs pemakaman leluhur adalah warisan sejarah hidup yang tidak dapat dinegosiasikan.
Saya menulis ini bukan untuk berbicara atas nama mereka, tetapi sebagai seseorang yang telah menyaksikan bagaimana mereka menjaga sesuatu yang sangat halus dan sangat tua: ingatan.
Selama Bahasa Berco masih diucapkan, selama batu-batu leluhur masih dirawat, selama nama-nama tempat dipanggil dengan hormat—tanah ini tidak akan pernah menjadi kosong. Karena Tanah Berco tidak kosong. Ia hidup. Ia mengingat. Ia melawan.
Baca juga:


0Komentar