LBH Keadilan Samawa Rea Desak Polres Sumbawa Tuntaskan Kasus Penyerobotan Tanah dan Penembakan Warga

Sumbawa - Reportase7.com

Kuasa hukum Ahmad bin Kambek, dari Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Samawa Rea yakni Suparjo Rustam, SH, C.Md., C.LA., dan Febriyan Anindita, SH., mendesak Polres Sumbawa segera menuntaskan perkara dugaan penyerobotan tanah, pemalsuan dokumen, hingga percobaan pembunuhan yang menimpa klien mereka. Kasus yang telah bergulir sejak Agustus 2022 ini dinilai mengalami stagnasi penegakan hukum yang serius. 

“Sudah lebih dari dua tahun laporan kami mandek di Polres. Bahkan upaya pembunuhan terhadap klien kami pada April 2023 pun tidak menunjukkan kemajuan penyidikan yang berarti,” ujar Febriyan Anindita dalam keterangan tertulisnya, Senin 04 Agustus 2025. 

Rekan sejawatnya, Suparjo Rustam, menambahkan bahwa kasus ini bukan sekadar konflik kepemilikan lahan, melainkan melibatkan dugaan pemalsuan, pengukuran ilegal oleh aparat desa, intervensi aparat keamanan, hingga pelanggaran hak hidup. 

“Ini bukan sengketa biasa. Ini tentang negara hukum yang sedang diuji: apakah hukum berpihak pada bukti dan keadilan, atau tunduk pada kuasa lokal?” kata Suparjo.

Sertifikat Sah, Tapi Dilangkahi oleh Dokumen Desa 

Ahmad bin Kambek merupakan pemilik sah sebidang tanah seluas 1.293 meter persegi di Desa Pungka, sesuai Sertifikat Hak Milik (SHM) yang dikeluarkan oleh BPN Kabupaten Sumbawa pada 13 September 2014. Namun, sejak 2018, seorang warga berinisial A.M. mengklaim telah membeli sebagian tanah tersebut dan belakangan menguasai area yang lebih luas tanpa pelunasan pembayaran. 

Menurut Febriyan, transaksi awal yang diakui Ahmad hanya berupa Rp10 juta dan satu unit motor, dan tidak pernah ada dokumen otentik yang menyatakan seluruh tanah telah dijual. Namun tiba-tiba, muncul dokumen SPPT dan sporadik versi desa yang menyebut luas tanah hanya 550 meter persegi. 

“Kami menduga kuat adanya pemalsuan dokumen, termasuk kwitansi jual beli yang tidak pernah ditandatangani klien kami. Ini sudah masuk ranah pidana,” jelas Febriyan. 

Pengukuran ulang yang dilakukan oleh tim BPN tanpa pemberitahuan dan tanpa dokumen resmi dari desa juga dipersoalkan. Salah satu juru ukur dari BPN bahkan disebut mengakui bahwa proses tersebut tidak sesuai prosedur. 

Oknum Aparat dan Perangkat Desa Diduga Terlibat 

Kasus ini makin pelik karena Ahmad justru mendapat tekanan dari sejumlah perangkat desa dan seorang oknum aparat teritorial berinisial S.L., yang disebut ikut mengatur ukuran baru lahan yang tidak sesuai dengan batas sah. 

“Bukan hanya tekanan verbal, tapi juga penghinaan terbuka terhadap klien kami, yang merupakan purnawirawan TNI. Oknum tersebut secara emosional menyebut Ahmad sudah tua, ompong, dan jelek. Ini bentuk intimidasi dan pelanggaran etika militer,” kata Suparjo. 

Menurut Suparjo dan Febriyan, keterlibatan aparat aktif dalam konflik keperdataan warga adalah bentuk pelanggaran serius terhadap netralitas dan integritas institusi negara. 

Percobaan Pembunuhan yang Tak Terungkap 

Puncak teror terjadi pada 1 April 2023, saat Ahmad menjadi korban penembakan oleh orang tak dikenal di halaman rumahnya. Peluru menembus pipi kanan dan keluar dari pipi kiri. Proyektil peluru ditemukan dalam kendaraan yang digunakan Ahmad dan dijadikan barang bukti oleh polisi. 

“Fakta bahwa klien kami ditembak dan sampai sekarang pelakunya tidak ditemukan, menunjukkan betapa seriusnya ancaman ini. Kami menolak upaya damai sepihak. Ini perkara pidana berat, bukan sekadar selisih biasa,” ujar Febriyan. 

Ahmad juga sempat menerima panggilan telepon dari seseorang yang mengaku anggota intelijen yang menawarkan pertemuan damai, namun ditolak karena dinilai membahayakan keselamatan. 

Tuntutan Hukum dan Keadilan 

Kedua pengacara publik LBH Keadilan Samawa Rea menegaskan akan membawa kasus ini ke berbagai lembaga tinggi, di antaranya: 

- Propam Mabes Polri dan Polda NTB 
- Komnas HAM RI 
- Ombudsman RI Perwakilan NTB 
- Denpom IX/2-1 atas dugaan keterlibatan oknum TNI 

“Jika warga negara dengan sertifikat resmi pun bisa diintimidasi, difitnah, dan ditembak, maka kita sedang menghadapi darurat keadilan,” tegas Suparjo Rustam. 

Febriyan menambahkan, dirinya menyebutkan sedang menyusun laporan lanjutan untuk meminta perlindungan saksi ke LPSK, dan mendorong audit menyeluruh atas kebijakan pengukuran dan penerbitan dokumen pertanahan di wilayah Desa tersebut.

“Kami percaya hukum masih ada. Tapi jika penegak hukum abai, maka kami akan terus membawa suara ini ke publik dan ke meja lembaga-lembaga nasional,” pungkasnya. 

Pewarta: Red
Editor: R7 - 01