Denpasar - Reportase7.com
Proyek pembangunan Floating Storage Regasification Unit (FSRU) LNG di kawasan Sidakarya, Bali, menuai penolakan luas dari masyarakat sipil dan pegiat lingkungan. Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) menilai proyek tersebut tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga mengabaikan hak-hak masyarakat lokal serta prinsip keadilan ekologis.
FSRU LNG dirancang berdiri di kawasan konservasi Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai, rumah bagi ekosistem mangrove penting yang menyimpan 1.023 MgC/ha karbon. Kerusakan 1–2 hektare mangrove akibat proyek ini setara dengan pelepasan ribuan ton CO₂ ke atmosfer. Tak hanya itu, kawasan ini juga menjadi habitat Elang Bondol dan Gajahan Eurasia – dua spesies dilindungi yang kini berada di ambang kepunahan, Senin 26 Mei 2025.
Pengerukan dasar laut hingga 3,3 juta m³ juga diperkirakan meningkatkan kekeruhan air laut (TSS) hingga 120 mg/L, mengancam keberadaan terumbu karang dan padang lamun, dua ekosistem vital yang menopang kehidupan biota laut dan penyu, satwa yang juga dilindungi oleh UU No. 5/1990 dan Konvensi CITES.
Menurut LMND, proyek ini menggambarkan model pembangunan eksploitatif yang abai terhadap hak masyarakat. Di Serangan, lebih dari 85% nelayan menggantungkan hidup dari kawasan yang kini terancam ditutup akibat zona manuver kapal LNG. Indeks kerentanan sosial mereka (LVI) mencapai angka tinggi: 0,72.
Sektor pariwisata, yang menjadi urat nadi ekonomi lokal, juga terancam. Berdasarkan kajian ANDAL, FSRU LNG akan mengurangi jumlah wisatawan hingga 200 orang per bulan hanya di Pulau Serangan. Artinya, puluhan pelaku usaha kecil dan pekerja informal terancam kehilangan penghasilan.
Zona Tsunami dan Risiko Bencana Industri
Lokasi proyek berada di zona merah tsunami menurut peta risiko BNPB (4–6 meter). Namun, dokumen AMDAL proyek ini dinilai lemah dalam mengantisipasi risiko bencana industri, dan tidak mengacu pada standar keselamatan internasional (COMAH No. 16). Kedekatan proyek dengan pemukiman padat penduduk memperbesar potensi “domino effect” jika terjadi kecelakaan industri.
LMND juga menyoroti lemahnya tata kelola proyek ini. Meskipun statusnya proyek strategis nasional (PP 22/2021), pembangunan infrastruktur FSRU melanggar sejumlah regulasi penting, seperti UU No. 5/1990 tentang konservasi, Perda Bali No. 16/2009, dan Peraturan Menteri LHK No. P.106/2018. Proyek ini menjadi preseden buruk bagi kepastian hukum di Indonesia, di mana peraturan lingkungan terkesan bisa dinegosiasikan demi kepentingan korporasi.
LMND menyerukan agar proyek FSRU LNG direlokasi ke wilayah offshore yang lebih dari 10 km dari pantai, sebagaimana praktik baik yang diterapkan di Lampung dan Jakarta. Solusi ini tidak hanya mengurangi konflik sosial dan lingkungan, tetapi juga tetap memenuhi kebutuhan teknis dan keselamatan proyek.
Selain relokasi, LMND mendesak pemerintah untuk menghentikan proses perizinan hingga AMDAL diperbaiki secara partisipatif. Serta menjamin keterlibatan masyarakat lokal dalam setiap tahap pengambilan keputusan.
Mengganti pembangunan ekstraktif dengan yang berbasis ekosistem dan keadilan sosial.
“Proyek ini bukan sekadar soal energi, tetapi soal bagaimana negara memosisikan rakyat dan lingkungan dalam agenda pembangunan. Jika ruang hidup dan hukum bisa disisihkan, maka demokrasi sedang berada dalam ancaman,” tegas pernyataan LMND Bali.
Pewarta: Red
Editor: R7 - 01
0Komentar