Jokowi Bapak Pembangunan Korupsi

Oleh: Abdullah Hehamahua
(Mantan Penasihat KPK)


Reportase7.com
Korupsi disebut sebagai “extra ordinary crime” (kejahatan luar biasa) karena tiga hal: Korupsi bersifat trans nasional; Pembuktiannya sukar dan; Dampak yang luar biasa.
      
Khusus untuk Indonesia, dampak korupsi bisa menjadikan negeri ini mengalami tiga kemungkinan: (a) Indonesia hilang dari peta bumi; (b) Indonesia menjadi beberapa negara baru; atau (c) Indonesia menjadi jajahan negara “super power.”

Jokowi adalah presiden yang punya andil besar dalam menyeret Indonesia ke tiga alternatif di atas. Sebab, sejatinya, Indonesia sekarang sudah terjajah.
      
Indikatornya: (a) Utang Indonesia tahun ini (APBN dan non-APBN), Rp. 20 ribu triliun; (b) Hampir seluruh kebutuhan pokok, diimpor; (c) Pertama kali selama orde reformasi, selama 9 tahun berturut-turut, mata uang rupiah bertengger di atas empatbelas ribu rupiah. Padahal, pasa masa SBY, nilai rupiah rata-rata sekitar Rp.10.000; (d) Peraturan Perundang-undangan yang sejatinya merupakan kepentingan asing dan oligarki, seperti UU mengenai: Covid 19, Minerba, KPK, Cipta Kerja, KUHP, IKN, dan Kesehatan; (e) Angka pengangguran masih tinggi, tetapi pekerja asing mendominasi lapangan kerja di tambang-tambang Indonesia; (f) Penangkapan aktivis, tokoh masyarakat, dan ulama berdasarkan order oligarki dan pihak asing; (g) Intervensi China terhadap Pilpres 2024 di mana belum ada putusan MK, tapi Presiden China sudah mengundang Prabowo sebagai presiden Indonesia yang baru.

Jika MK menolak gugatan 01 dan 03, itu bermakna, Jokowi berhasil menjadi presiden tiga periode. Sebab, Prabowo hanya menjadi presiden formalistis. Ini karena, Prabowo sewaktu-waktu bisa masuk terungku. Di sinilah kelicikan Jokowi yang senantiasa menyandera Prabowo. Sebab, Prabowo terlibat dalam dua kasus korupsi.

Jokowi dan Maraknya Korupsi

Soekarno menyandang gelar “presiden seumur hidup.” Soeharto digelar Bapak Pembangunan. Jokowi.? Mahasiswa mungkin akan menganugerahkan gelar “Bapak Pembangunan Korupsi.” Sebab, pada periode kepemimpinannya, korupsi, tidak saja terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), tapi brutal. Ini karena, pada jaman orde lama, korupsi terjadi di bawah meja. Masa orde baru, korupsi terjadi di atas meja. Jaman orde reformasi, khususnya dalam kepemimpinan Jokowi, mejanya dibawa kabur sekalian.

Meja yang dibawa kabur rezim Jokowi tersebut, antara lain berisi beberapa kasus besar, seperti: (a) Transaksi mencurigakan yang dilaporkan PPATK sebesar Rp 349 triliun; (b) Kasus korupsi PN Timah, Rp 271 triliun. (c) TPPU dalam penggelapan emas batangan di Bea Cukai Tajung Priok sebesar Rp 189 trilun; (d) Penyerobotan lahan di Riau yang dilakukan oleh Surya Darmadi dengan kerugian negara, Rp 78 triliun; (e) Kasus PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) yang menimbulkan kerugian Rp 37,8 triliun; (e) Kasus korupsi PT Asabri dengan kerugian Rp 22,7 triliun; (f) Korupsi PT Jiwasraya, Rp 16,8 triliun; dan (g) Kasus BTS, Rp 8 triliun.

Kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, umumnya berkaitan dengan Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) Pemerintah. Selama 8 tahun berkhidmat di KPK, kutemukan 42% koruptor yang ditangkap KPK adalah yang berkaitan dengan Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ). Tragisnya, pada masa pemerintahan Jokowi, justru prosentasi tersebut membesar menjadi 60 persen.
       
Padahal, setiap tahun, 35 persen APBN diperuntukkan untuk PBJ Pemerintah seluruh Indonesia. Jadi, pada tahun 2023 misalnya di mana APBN mencapai Rp 3 ribu triliun, maka dana APBN yang dikorup adalah 35% x 60% x Rp 3 ribu triliun = Rp 630 milyar. Wajar jika APBN besar tapi tidak dinikmati rakyat kecil.

Dalam kontek itulah, menjelang peristiwa politik, pemerintah mengguyur bansos secara tidak tersistematik. Sebab, mereka yang berhak menerima bansos adalah yang terdaftar di Kemensos. Padahal, bansos tersebut dibagikan di depan istana. Bansos juga dibagikan ketika kunjungan presiden ke daerah tertentu di mana siapa saja yang hadir, bisa menerimanya.

Korupsi politik yang dilakukan Bapak Pembangunan Korupsi tersebut sangat berpengaruh dalam penentuan politik seseorang. Sebab, hampir 50 persen rakyat di pulau Jawa, miskin dan berpendidikan rendah. Olehnya, mereka secara otomatis memilih capres/cawapres dukungan pemerintah, khususnya presiden Jokowi.

Indikator lain di mana Jokowi sebagai bapak pembangunan korupsi dapat dilihat dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Indonesia tahun 2023, IPK nya mencapai titik nadir, 34. Angka itu menempatkan Indonesia di peringkat 115 dari 180 negara yang disurvei. Maknanya, Indonesia termasuk 65 negara terkorup di dunia. Padahal, sebelumnya, IPK Indonesia pernah mencapai angka 40 dari nilai tertinggi 100. Tragisnya, ketika KPK dipimpin bonekanya Jokowi, Firli Bahuri, Indonesia tahun 2023 menduduki peringkat ke-5 sebagai negara terkorup di Asia Tenggara. Bahkan, IPK Indonesia lebih rendah dari Timor Leste.
      
Data KPK menunjukkan, 409 dari 1.261 kasus korupsi yang ditangani KPK, dilakukan pemerintah pusat di mana pimpinannya adalah Jokowi. Bahkan, Jokowi, satu-satunya presiden yang menterinya paling banyak ditangkap, enam orang. SBY, 5 menteri. Megawati, hanya 3 menteri yang ditangkap APH.

Menariknya, menteri Jokowi yang ditangkap itu ada yang karena tidak loyal kepadanya. Maknanya, jika Menteri tersebut menyatakan loyal ke Jokowi, beliau tidak ditangkap APH. Itulah sebabnya, ada Menteri yang sudah diperiksa APH, tapi kemudian setuju Jokowi tiga periode dan mendukung Gibran sebagai Cawapres, tidak lagi dilanjutkan peroses hukumnya oleh APH. Jokowi betul-betul Bapak Pembangunan Korupsi.

Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa, khusus tahun 2018 saja, KPK menangkap dua gubernur dan 30 bupati/walikotanya Jokowi. Selama kepemimpinannya, 8 gubernur yang ditangkap KPK. Bahkan, pada tahun 2021 saja, Pengadilan Negeri Jakarta menyidangkan 121 kasus korupsi.

Bola panas itu sekarang di tangan MK. Jika kedelapan anggota MK tersebut, menolak intimidasi psikologi dan ancaman nyawa dari oligarki dan aparat pengkhianat bangsa, maka Pilpres dilakukan ulang. Jika lima saja dari delapan anggota MK tersebut tidak perduli terhadap tawaran satu triliun rupiah per orang agar menolak gugatan 01 dan 03, maka paslon 02 didiskualifikasi.