Konflik Dengan Perusahaan Sisal,  Masyarakat Adat Rebu Payung Terjerat Hukum

Sumbawa - Reportase7.com

Sudah jatuh tertimpa tangga. Pepatah ini mungkin sedikit menggambarkan kondisi Masyarakat Adat Rebu Payung di Desa Sepayung, Kecamatan Plampang, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. (26/03/2024)

Sudahlah ruang hidup mereka tergerus HGU perkebunan sisal malah terjerat hukum atas laporan perusahaan yang menuding masyarakat Adat Rebu Payung melakukan penyerobotan lahan.

Pada tanggal 22 Maret 2024, Pengadilan Negeri Sumbawa Besar, memvonis tujuh warga Adat Rebu Payung. Mereka adalah, Gani, Samad, Syarafuddin, Ances, Rosdin, Amaq Mar, dan Sapo.

Tujuh orang tersebut divonis 3 bulan penjara tanpa harus menjalani kurungan sesuai dengan Putusan Pengadilan Negeri Sumbawa Besar Nomor 3/Pid.C/2024/PN Sbw.

Mereka terjerat hukum gara-gara laporan perusahaan perkebunan Sisal, PT. Sumbawa Bangkit Sejahtera (SBS) atas tuduhan penyerobotan lahan.

Sidang Perkara ini dipimpin oleh Hakim Fransiskus Xaverius Lae dan Panitera pengganti Yoshua Ishak Maspaitella, SH.

Febriyan Anindita, SH,  selaku kuasa hukum warga Adat mengatakan, ini bukan kasus pertama warga adat dijerat hukum atas tanahnya sendiri.

Hal ini menegaskan bahwa konflik agraria di Sumbawa butuh perhatian khusus dari Pemerintah.

Ia sangat menyayangkan nasib para petani yang sedang berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya harus berjuang juga untuk selamat dari jeratan hukum.

"Lantas dimana keberpihakan negara terhadap masyarakatnya, kalau ruang-ruang hidup mereka terus dirampas," ujar Febriyan.

Advokat yang tergabung dalam Perhimpunan pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) Region Bali Nusa Tenggara ini, juga menegaskan bahwa, tidak menginginkan lagi adanya kasus yang sama terjadi di Kabupaten Sumbawa. 

"Perkara ini terjadi karena adanya konflik agraria struktural. Bukan persoalan penyerobotan, atau penggarapan lahan tanpa izin pemilik," tegasnya.

"Tanah yang dikantongi HGU-nya oleh perusahaan itu adalah tanah ulayat, tanah yang sudah digarap jauh sebelum perusahaan masuk ke wilayah tersebut. Konflik seperti ini seharusnya bisa diselesaikan oleh pemerintah Kabupaten dengan melakukan mediasi tanpa harus mengorbankan masyarakat yang sudah lama tinggal di sekitar wilayah itu," beber Febriyan.

Namun, Pemerintah seolah-olah tutup mata, membiarkan masalah tersebut bergulir begitu saja. Padahal pemerintah memiliki instrumen lengkap untuk memberikan ruang keadilan bagi masayarakat setempat.

"Kalau bukan kepada pemerintah kemana lagi masyarakat kecil harus berlindung. Saya berharap agar pemerintah lebih mengedepankan kepetingan masyarakat ketimbang kepetingan perusahaan atau investor," tandas advokat muda Febriyan, sekaligus Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Daerah Sumbawa.

Pewarta: Red
Editor: R7 - 01