Sebut TAPD Lombok Timur Lelet dan KUA-PPAS Molor, LSM Garuda Indonesia Gelar Mimbar Bebas di Kantor DPRD
Redaksi
Font size:
12px
Lombok Timur - Reportase7.com
Keterlambatan atau kemoloran pembahasan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) di Kabupaten Lombok Timur mendapat sorotan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Garuda Indonesia melakukan aksi di kantor Bupati Lombok dan kantor Dewan Perwakilan Rakyar Daerah (DPRD) Kabupaten Lombok Timur (Lotim), Senin 17 November 2025.
Aksi yang dihadiri sekitar 100 lebih anggota LSM Garuda Indonesia tersebut di terima langsung oleh Ketua DPRD Lombok Timur M. Yusri.
Dalam kesempatan tersebut M. Yusri menegaskan bahwa keterlambatan ini tidak ada unsur kesengajaan, namun ini murni kesalahan administrasi dan teknis. Karena tim Kinerja Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) menunggu regulasi dari pemerintah pusat.
Terkait dengan adanya efesiensi anggaran yang mengakibatkan Lombok Timur pun mengalami pemotongan anggaran lebih dari 300 milyar pada tahun 2026.
“Tidak ada unsur kesengajaan dalam keterlambatan pembahasan KUA-PPAS Lotim, akan tetapi ini murni kesalahan administratif dan kesalahan teknis,” ungkap M. Yusri.
Ketua LSM Garuda Indonesia M. Zaini mengatakan bahwa, keterlambatan pembahasan Kepala Staf Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA–PPAS) di Kabupaten Lombok Timur mencerminkan persoalan serius dalam tata kelola pemerintahan daerah, terutama dalam hal kepatuhan terhadap regulasi perencanaan dan penganggaran.
Proses penyusunan serta pembahasan KUA–PPAS telah diatur secara jelas dalam berbagai peraturan, mulai dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 86 Tahun 2017 tentang Perencanaan Pembangunan Daerah, hingga Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah.
Keseluruhan regulasi tersebut menegaskan bahwa pembahasan KUA–PPAS wajib dilakukan tepat waktu karena dokumen tersebut merupakan dasar bagi penyusunan Rancangan APBD. Ketika KUA–PPAS terlambat dibahas, secara otomatis terjadi pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan dan berpotensi menimbulkan implikasi administratif maupun sanksi bagi pemerintah daerah.
Kedatangannya ke gedung DPRD ini juga merupakan kecintaannya kepada daerah yaitu Kabupaten Lombok Timur ini. Kedatanggannya kali ini merupakan bentuk kontrol dari masyarakat agar bagaimana pihak eksekutif dan Legislatif harus bekerja dengan tertib dalam melakukan pembahasan anggaran daerah.
“Kedatangan kami kali ini merupakan bentuk kecintaan kami kepada Lombok Timur,” ucap M. Zaini.
Regulasi yang paling eksplisit mengatur batas waktu adalah PP Nomor 12 Tahun 2019, terutama pada Pasal 89 dan Pasal 90 yang menyebutkan bahwa kepala daerah wajib menyerahkan rancangan KUA–PPAS kepada DPRD paling lambat minggu kedua bulan Juli.
Sementara itu, DPRD bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) berkewajiban melakukan pembahasan tepat waktu agar penetapan KUA–PPAS dapat dituntaskan sebelum memasuki bulan Agustus. Ketentuan ini dibuat bukan tanpa alasan, penyusunan RKA-SKPD, pembahasan RAPBD, serta proses evaluasi APBD oleh provinsi semuanya bergantung pada finalisasi KUA–PPAS.
Dengan demikian, menghambatnya pembahasan dokumen tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap ketentuan PP 12/2019 yang secara hierarkis mengikat seluruh pemerintah daerah, termasuk Lombok Timur.
Selain itu, Permendagri 77 Tahun 2020 juga menegaskan kewajiban TAPD dan DPRD untuk memastikan bahwa dokumen penganggaran diselesaikan tepat waktu demi menjaga disiplin anggaran.
Penundaan yang dilakukan tanpa alasan yang sah dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap asas efektivitas, kepastian waktu, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah. Permendagri 86 Tahun 2017 juga memberikan koridor yang tegas tentang sinkronisasi antara dokumen RPJMD, RKPD, dan KUA–PPAS.
"Keterlambatan KUA–PPAS di Lotim secara langsung menyebabkan disharmonisasi antara dokumen perencanaan dan dokumen penganggaran, sehingga menyalahi amanat regulasi yang mengharuskan semua dokumen penganggaran disusun secara konsisten, terpadu, dan berkesinambungan," tegasnya.
Ia menyebutkan, keterlambatan pembahasan KUA–PPAS dapat dikategorikan sebagai pelanggaran administratif karena melanggar “tenggat waktu wajib” yang telah ditentukan regulasi nasional. Bahkan, PP 12/2019 menyediakan mekanisme sanksi apabila pemerintah daerah tidak menyelesaikan siklus penganggaran secara tepat waktu. Misalnya, jika RAPBD terlambat diserahkan, Menteri Dalam Negeri atau Gubernur dapat memberikan teguran tertulis dan bahkan menunda penyaluran dana transfer tertentu.
KUA–PPAS memang belum berada pada tahap RAPBD, tetapi keterlambatannya dapat menjadi dasar bagi pemerintah provinsi atau pusat untuk melakukan pembinaan dan pengawasan karena dianggap berpotensi menghambat penyusunan APBD secara keseluruhan.
Dengan demikian, secara substansi, keterlambatan KUA–PPAS di Lombok Timur dapat dikategorikan sebagai potensi pelanggaran terhadap pasal-pasal pengelolaan keuangan daerah yang mengamanatkan bahwa seluruh tahapan harus diselesaikan sesuai jadwal yang telah diatur.
Lebih jauh, keterlambatan pembahasan tersebut juga berpotensi melanggar prinsip akuntabilitas publik. Regulasi perencanaan dan penganggaran dibuat dengan tujuan untuk memastikan bahwa masyarakat mendapatkan kepastian mengenai arah belanja pemerintah serta jaminan bahwa proses pembangunan tidak terhambat. Ketika TAPD atau DPRD memperlambat pembahasan KUA–PPAS tanpa alasan kuat, hal ini tidak hanya melanggar aturan administratif tetapi juga mengabaikan hak publik untuk menerima layanan dan manfaat pembangunan secara tepat waktu.
"Dampaknya bisa meluas, seperti tertundanya pelaksanaan program sosial, layanan dasar, pembangunan infrastruktur, dan kegiatan strategis lain yang sangat bergantung pada kejelasan alokasi anggaran," sambung M. Zaini.
"Dari perspektif tata kelola pemerintahan daerah, keterlambatan pembahasan KUA–PPAS di Lotim mencerminkan lemahnya koordinasi antara eksekutif dan legislatif. Padahal, regulasi nasional menegaskan bahwa kedua lembaga harus bekerja secara kooperatif dalam merumuskan arah kebijakan anggaran," sebutnya.
Ketidaksinkronan di antara kedua pihak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap asas “kerjasama antar lembaga pemerintah” sebagaimana tertuang dalam prinsip-prinsip umum pengelolaan pemerintahan yang baik (good governance) yang diperkuat dalam regulasi keuangan daerah.
Dengan demikian, keterlambatan pembahasan KUA–PPAS di Lombok Timur bukan hanya persoalan teknis, melainkan bentuk pelanggaran regulasi yang mengatur batas waktu, tahapan penganggaran, asas kepastian hukum, akuntabilitas, serta tertib administrasi.
Pemerintah daerah perlu melakukan evaluasi internal, memperkuat manajemen TAPD, memperbaiki komunikasi dengan DPRD, dan memastikan setiap pejabat pengelola keuangan memahami konsekuensi hukum dari penundaan proses.
"Jika tidak, keterlambatan serupa dapat terus terjadi setiap tahun dan berakibat pada menurunnya kualitas tata kelola, efektivitas pembangunan, dan kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah," tutupnya.
Pewarta: Red
Editor: R7 - 01
Baca juga:




0Komentar