Oleh: Febriyan Anindita
Ketua Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Daerah Sumbawa (AMANDA Sumbawa)
Sumbawa - Reportase7.com
Indonesia boleh saja merdeka secara formal sejak 1945. Namun, bagi masyarakat adat seperti Suku Berco di Desa Lawin, Kecamatan Ropang, Sumbawa, NTB. kolonialisme belum pernah benar-benar pergi. Ia berganti wajah dari kompeni ke korporasi, dari VOC ke PT, dari meriam ke alat berat ekskavator.
Hari ini, wilayah adat Suku Berco sedang dikepung oleh proyek tambang emas yang merampas, menggusur, dan menista situs-situs sakral adat. Di bawah tanah yang disebut “kaya mineral” itu, terkubur pula para leluhur mereka, nisan-nisan tua beragam motif ukir kuno penanda kehidupan silam, simbol spiritual dan sejarah panjang eksistensi masyarakat adat Berco. Tapi bagi negara dan perusahaan, itu semua hanya dianggap batu tak bernilai—bukan warisan, bukan pengetahuan, bukan sejarah. Mereka memilih emas ketimbang ingatan.
Ilmu Adat Dilawan dengan Ilmu Tambang
Kami melihat satu hal yang menyakitkan sekaligus mencemaskan: negara dengan mudah percaya pada laporan studi kelayakan tambang, tapi menolak mendengar peta partisipatif masyarakat. Mereka mengagungkan cut and fill, tapi mengabaikan nilai ruang sakral dan roh leluhur. Ilmu teknik dan geo-ekstraksi menjadi dalih perampokan atas tanah adat.
Padahal, Suku Berco punya ilmunya sendiri. Mereka membaca tanah bukan dari bor, tapi dari batu-batu nisan,dari ragam hayati. Mereka tidak menghitung nilai ekonomi permukaan, tapi nilai spiritual dan keseimbangan ekologis. Ini bukan anti-ilmu. Ini justru ilmu ekologis berbasis adat—yang seharusnya dihormati, bukan dihancurkan.
Greenwashing dan Tahayul Baru
Di era modern, tahayul tidak lagi berbentuk jin atau roh halus. Tahayul hari ini adalah mitos pembangunan. Bahwa tambang membawa kemakmuran. Bahwa investasi akan membuka lapangan kerja. Bahwa penggusuran bisa diganti rugi. Ini semua adalah mantra baru kolonialisme korporasi—diucapkan oleh pejabat, dikampanyekan oleh konsultan ESG, dan disahkan oleh izin negara.
Yang tidak pernah mereka sebut: konflik sosial, kehilangan situs adat, kerusakan air, tanah, udara, dan pemiskinan struktural selama puluhan tahun setelahnya.
Negara dalam Posisi Cacat Etik dan Hukum
Konstitusi Republik Indonesia sebetulnya sudah cukup jelas. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM mengakui eksistensi masyarakat hukum adat. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 menyatakan bahwa hutan adat bukan bagian dari hutan negara. Bahkan dalam hukum internasional, seperti Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP), hak atas wilayah adat, identitas budaya, dan persetujuan bebas tanpa paksaan (FPIC) dijamin sebagai bagian dari hak asasi manusia.
Namun semua ini ditabrak oleh kepentingan modal, dilecehkan oleh izin tambang, dan diabaikan oleh negara. Masyarakat adat dijadikan korban legalisasi perampokan.
Wilayah Adat Bukan Tanah Kosong
Kita harus hentikan cara pandang yang melihat tanah masyarakat adat sebagai “kosong”, “tidak produktif”, atau “belum dimanfaatkan.” Di atas tanah itu berdiri batu nisan, ukiran leluhur, bahasa yang hidup, dan nilai-nilai ekologis yang sudah diwariskan turun-temurun.
Ketika ekskavator menggali tanah adat Suku Berco, itu bukan hanya menggali bijih emas. Itu menggali kubur kemanusiaan kita sendiri.
Menolak Diam, Menolak Dihapus
Jika negara tidak berdiri untuk masyarakat adat, maka masyarakat sipil harus bersuara lebih keras. Perjuangan Suku Berco adalah perjuangan kita semua—perjuangan mempertahankan akal sehat di tengah banjir tipu daya pembangunan. Perjuangan menjaga warisan budaya dari generasi ke generasi.
Kita tidak bisa memilih emas di atas kuburan. Kita tidak bisa memilih ekspansi di atas penghapusan identitas.
Kami bukan menolak masa depan.
Kami menolak dilupakan.
0Komentar