Oleh: Febriyan Anindita
(Ketua PHD AMAN Sumbawa)
Mataram - Reportase7.com
Di tengah dominasi bahasa nasional, ekspansi ekonomi ekstraktif, dan logika pembangunan yang menstandarkan cara hidup, Desa Lawin di Kecamatan Ropang, Kabupaten Sumbawa, mempertahankan sesuatu yang lebih dari sekadar alat bicara: Bahasa Berco.
Bahasa ini tumbuh secara alamiah dari generasi ke generasi dari obrolan di ladang, dari doa di mata air, dari Pangkuan ibu, dari pengetahuan tentang kapan pohon boleh ditebang dan kapan hutan harus dibiarkan memulihkan diri. Ia bukan sekadar sistem tanda, tetapi cara masyarakat adat memahami dunia dan menjaga keseimbangannya.
Di sini, kita teringat gagasan James C. Scott tentang metis—pengetahuan lokal yang lahir dari pengalaman hidup langsung. Bahasa Berco adalah metis: pengetahuan ekologis tanpa manual, tetapi saraf ekologis desa itu sendiri.
Ketika suatu bahasa hilang, maka hilang pula metis tersebut.
Dan ketika metis hilang, ruang hidup menjadi rentan ditata oleh kekuasaan dari luar.
Bahasa sebagai Arena Politik
Sosiolog Pierre Bourdieu pernah menulis bahwa bahasa adalah arena pertarungan untuk legitimasi.
Bahasa yang dianggap “resmi” mendapat kekuasaan.
Bahasa yang dianggap “kampungan” dikesampingkan.
Bahasa Berco tidak hilang karena kalah bersaing secara alamiah.
Ia dipinggirkan melalui sistem pendidikan, administrasi negara, dan logika pembangunan yang memusat.
Dalam kerangka Michel Foucault, penghilangan bahasa adalah pengendalian wacana: jika masyarakat tidak lagi menamai dunianya dengan bahasanya sendiri, maka mereka kehilangan hak mendefinisikan diri, tanah, dan masa depan.
Bahasa hilang Identitas hilang Ruang hidup menjadi terbuka untuk diambil.
Ini bukan proses alami.
Ini proses politik.
Pengakuan Ada, Perlindungan Tidak.
Pada tahun 2020, masyarakat Lawin meneguhkan identitas mereka melalui Perdes Lawin No. 1 Tahun 2020.
Ini adalah deklarasi: kami ada, kami mengetahui, kami menjaga.
Tetapi pengakuan desa tidak diikuti perlindungan kabupaten. Perda masyarakat adat belum lahir. Ruang hidup tetap rentan dihadapkan pada konsesi dan proyek.
Negara mengakui, tetapi belum melindungi. Pengakuan tanpa perlindungan adalah delegitimasi yang ditunda.
Bahasa sebagai Perlawanan
Pemikir antikolonial Frantz Fanon mengingatkan bahwa penjajahan paling dalam adalah penjajahan bahasa. Jika seseorang dipaksa melepaskan bahasanya, ia dipaksa melepaskan dirinya sendiri.
Bahasa Berco bertahan bukan karena proyek pelestarian, tetapi karena "Tau Berco" menolak menyerah. Selama mereka menyebut hutan dalam Bahasa Berco, selama mereka menamai mata air dalam Bahasa Berco, selama mereka memanggil satu sama lain dalam Bahasa Berco,
ruang hidup adat tidak pernah benar-benar ditaklukkan.
Bahasa adalah pertahanan.
Pertanyaan kita bukan lagi:
“Akankah Bahasa Berco punah?”
Pertanyaannya adalah:
Siapa yang berkepentingan membuatnya punah?
Siapa yang berkepentingan menjaganya tetap hidup?
Di Lawin, jawabannya sudah jelas:
Bahasa bukan peninggalan.
Bahasa adalah masa depan.
Bahasa adalah benteng terakhir atas tanah, hutan, dan ingatan.
Dan selama Bahasa Berco terus diucapkan, penghapusan identitas tidak pernah akan selesai.


0Komentar