Jaksa Periksa Pejabat Pemkab Sumbawa Terkait Kasus Lahan Samota, Aktor Utama Masih Bebas Berkelakar

Mataram – Reportase7.com

Drama pengusutan kasus dugaan korupsi pembelian lahan Sirkuit MXGP Samota memasuki babak baru. Setelah lama jalan di tempat, Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB kembali memanggil pejabat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumbawa untuk dimintai keterangan, Kamis 02 Agustus 2025.

Seorang pejabat yang hadir dengan malu-malu enggan disebut namanya mengaku diperiksa sebagai Ketua Satgas B Bidang Identifikasi dan Inventarisasi dalam pengadaan lahan. 

“Saya diperiksa terkait teknis inventarisasi lahan. Ketua Satgas A juga ikut diperiksa,” ucapnya sembari menunduk di halaman Gedung Kejati NTB.

Pemeriksaan itu disebut fokus pada detail teknis pengadaan tanah. Tapi publik bertanya-tanya, mengapa jaksa begitu rajin memanggil pejabat level satgas, sementara nama besar yang disebut-sebut berada di puncak piramida kasus ini masih aman sentosa?

Rp53 Miliar untuk Lahan, Rakyat Hanya Dapat Debu

Untuk diketahui, kasus Samota bermula dari pengadaan 70 hektare lahan di Samota, Sumbawa, yang dibeli Pemkab dari mantan Bupati Lombok Timur, Ali Bin Dachlan (Ali BD), dan anak-anaknya. Uang yang digelontorkan sungguh luar biasa, Rp53 miliar dari APBD.

Mantan Kepala Kejati NTB, Enen Saribanon, bahkan sudah terang-terangan menyebut adanya dugaan mark up harga serta pelanggaran prosedur. Namun, hingga kini, perkara hanya berputar di tahap penyidikan, tanpa satu pun tersangka diumumkan.

Puluhan saksi sudah diperiksa, mulai dari Ali BD, anak-anaknya, hingga tim appraisal. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) bahkan sudah dilibatkan untuk menghitung kerugian negara. Tetapi yang publik lihat hanyalah tumpukan berkas, bukan nama tersangka.

Ali BD: “Saya Justru Rugi, Pemerintah Bayar Murah”

Menariknya, Ali BD tetap bergeming. Ia membantah semua tudingan rekayasa. Baginya, transaksi itu sudah sesuai aturan, ada appraisal, ada mekanisme konsinyasi di pengadilan, dan semua proses pembayaran dianggap sah.

Bahkan dengan nada tinggi ia menegaskan: “Harusnya Rp2 miliar per hektare, tapi pemerintah cuma bayar Rp300 juta sampai Rp400 juta per hektare. Saya rugi, bukan untung!”

Ali BD pun mengklaim hanya menerima Rp32 miliar dari total Rp53 miliar, sisanya mengalir ke anak-anaknya yang juga menguasai lahan di kawasan Samota. Pernyataan ini sontak memantik tanda tanya: jika benar ia “rugi”, mengapa publik justru merasakan ada yang janggal sejak awal?

Kejati NTB: Serius atau Sekadar Formalitas?

Kasi Penkum Kejati NTB, Efrien Saputera, saat dikonfirmasi hanya menjawab singkat, “Saya akan cek dulu ke bidang Pidsus.” Jawaban normatif yang justru semakin menegaskan kesan lamban dan setengah hati dalam penanganan perkara.

Sementara itu, aktivis dan masyarakat menilai Kejati NTB seperti kehilangan taring. “Kalau kasus ini cuma berhenti di level Satgas, jelas publik akan menilai jaksa masuk angin. Sebab yang menikmati Rp53 miliar bukan Satgas, tapi para elit di atasnya,” sindir seorang aktivis di Mataram.

Pertanyaan yang Menggantung

Rakyat NTB kini menyaksikan drama hukum yang tak jelas ujungnya. Di satu sisi, jaksa sibuk memanggil saksi-saksi teknis. Di sisi lain, nama besar seperti mantan Bupati, Wakil Bupati, hingga politisi sepuh Ali BD masih bebas berkelakar di luar gedung peradilan.

Pertanyaan publik sederhana namun tajam:
Apakah kasus Samota akan jadi monumen kegagalan Kejati NTB dalam memberantas korupsi? Ataukah justru akan ada keberanian politik hukum untuk menyeret aktor utama yang sesungguhnya?

Karena jika tidak, Rp53 miliar yang berasal dari keringat rakyat Sumbawa itu hanya akan berubah jadi jejak debu di lintasan MXGP Samota menguntungkan segelintir orang, sementara rakyat hanya bisa menonton dari luar pagar.

Pewarta: Red
Edisi: R7 - 01