![]() |
(Foto: Aldiansyah pemuda masyarakat Adat Cek Bocek Selesek Reen Sury) |
Sumbawa - Reportase7.com
Polemik keberadaan masyarakat adat Cek Bocek/Selesek Reen Sury mencuat setelah seorang akademisi Universitas Samawa (Unsa) menyebut komunitas ini “baru muncul setelah tambang dibuka”. Pernyataan itu memicu reaksi keras dari masyarakat adat, yang menilai klaim tersebut keliru, menyesatkan, dan cenderung melemahkan perjuangan mereka mempertahankan tanah leluhur.
“Kami bukan masyarakat adat karbitan. Identitas kami sudah ada jauh sebelum tambang masuk,” kata Aldiansyah, pemuda adat Cek Bocek, Minggu 28 September 2025.
Menurut Aldiansyah, masyarakat adat Cek Bocek memiliki sejarah panjang keterikatan dengan tanah ulayat, hutan, dan situs leluhur. Identitas mereka terjaga melalui tradisi lisan, ritual adat, dan pengelolaan sumber daya alam berbasis kearifan lokal.
“Kalau kami tidak tertulis dalam arsip kerajaan, apakah berarti kami tidak ada? Identitas adat bukan arsip mati. Ia hidup dalam praktik keseharian,” ujarnya.
Aldiansyah menilai klaim akademisi yang menyebut Cek Bocek baru muncul setelah tambang dibuka tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat. Ia mempertanyakan disiplin ilmu akademisi tersebut menilai eksistensi masyarakat adat.
“Apakah beliau seorang antropolog? Atau ahli hukum adat? Atau peneliti sejarah lokal? Kalau tidak, dari mana dasar ilmiahnya menyebut kami ‘baru muncul’?” katanya.
Menurut dia, pernyataan akademisi tanpa riset lapangan, tanpa wawancara komunitas, dan tanpa kajian mendalam justru melemahkan dunia akademik sendiri.
“Kami menyebut itu akademisi karbitan: muncul hanya saat ada isu tambang, tanpa tanggung jawab ilmiah,” tambahnya.
Aldiansyah mengingatkan, keberadaan masyarakat adat sudah diakui dalam Pasal 18B UUD 1945. Negara, kata dia, wajib melindungi kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya.
“Jangan sampai akademisi ikut mengingkari konstitusi. Ini bukan sekadar debat intelektual, tapi menyangkut hak dasar kami sebagai masyarakat adat,” ujarnya.
Bagi masyarakat Cek Bocek, isu tambang bukan sekadar kompensasi ekonomi.
“Ini menyangkut tanah leluhur, lingkungan, dan masa depan generasi,” kata Aldiansyah.
Ia menegaskan setiap rencana pembangunan, khususnya pertambangan, harus mengacu pada prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) atau persetujuan bebas, didahulukan, dan berdasarkan informasi memadai.
Aldiansyah menyadari suara masyarakat adat sering kali baru terdengar ketika wilayah mereka terancam. Namun, hal itu bukan berarti komunitas adat “baru lahir”.
“Kami tetap ada, meski lama dipinggirkan. Suara kami lantang sekarang karena kami sedang bertahan,” katanya.
Ia menutup dengan penegasan, perjuangan Cek Bocek adalah bagian dari gerakan masyarakat adat di Indonesia. “Menghapus kami sama saja dengan menghapus sejarah bangsa,” ujarnya.
Pewarta: Red
Editor: R7 - 01
0Komentar