Sumbawa — Reportase7.com
Masyarakat adat di sekitar Blok Tambang Elang, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, mempertanyakan keterbukaan informasi dan pelibatan warga dalam penyusunan Definitive Feasibility Study (DFS) oleh PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT). Mereka juga menyampaikan kekhawatiran atas dampak sosial, ekologis, dan budaya, termasuk terhadap situs pemakaman leluhur yang berada di dalam wilayah konsesi tambang.
DFS merupakan dokumen penting yang menentukan kelayakan teknis, lingkungan, dan ekonomi dalam pengembangan proyek tambang. Namun, menurut sejumlah tokoh adat dan warga Desa, hingga kini belum ada penjelasan menyeluruh dari pihak perusahaan maupun pemerintah daerah terkait isi maupun rencana tindak lanjut dari studi tersebut.
“Kami tidak tahu studi itu berisi apa. Padahal gunung, sungai, dan tanah yang mereka survei adalah wilayah adat kami sejak turun-temurun. Di sana juga ada kuburan leluhur kami,” ujar Datu Sukanda, tokoh masyarakat adat Cek Bocek/Selesek Reen Sury, di Sumbawa, Jumat 08 Agustus 2025.
Salah satu kekhawatiran utama masyarakat adalah potensi terganggunya situs pemakaman tua yang secara turun-temurun menjadi tempat peristirahatan tokoh leluhur masyarakat adat. Lokasi ini disebut berada di area yang masuk dalam peta konsesi atau kawasan rencana pembangunan infrastruktur tambang.
“Kuburan itu sakral. Kalau sampai digusur atau dijadikan jalur tambang, itu bisa menimbulkan kemarahan. Kami bukan sekadar keberatan, kami merasa tidak dihormati,” kata Sukanda.
Hal senada disampaikan Ahdiat Kartamiharja, Kepala Desa Lawin, salah satu Desa yang berbatasan langsung dengan wilayah konsesi. Menurutnya, pihak desa belum pernah menerima penjelasan formal maupun draf dokumen DFS dari pihak perusahaan.
“Kami butuh kejelasan. Kalau ada pembangunan besar, harusnya masyarakat dilibatkan sejak awal. Tanpa dialog, potensi konflik jadi besar,” ujar Ahdiat.
Ia berharap agar perusahaan dan pemerintah daerah membuka ruang musyawarah bersama masyarakat dan perangkat desa agar perencanaan proyek tidak menimbulkan kesalahpahaman di kemudian hari.
Ketua AMAN Daerah Sumbawa, Febriyan Anindita, menilai bahwa ketertutupan proses DFS dan minimnya pelibatan warga tidak sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola tambang yang berkelanjutan.
“Jika dokumen penting seperti DFS tidak dibuka kepada masyarakat terdampak, itu bertentangan dengan prinsip FPIC (Free, Prior and Informed Consent) yang diakui secara internasional, termasuk dalam standar Copper Mark,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa masyarakat adat tidak menolak pembangunan, tetapi menuntut partisipasi yang setara, terutama jika proyek menyentuh wilayah adat, sumber air, hutan, dan situs budaya.
Aldiansyah, pemuda adat dari wilayah Cek Bocek, mengatakan bahwa proyek tambang semestinya dibangun bersama, bukan di atas ketidaktahuan masyarakat.
“Kami tidak anti tambang. Tapi kalau kami tidak tahu apa yang direncanakan, bagaimana mungkin kami bisa percaya? Jangan sampai pembangunan menghapus jejak sejarah kami,” ujarnya.
Pengamat kebijakan Sumber Daya Alam (SDA), Sendi Akramullah, menyarankan agar penyusunan DFS disertai dengan konsultasi terbuka, tidak hanya formalitas administratif.
“Masyarakat harus tahu, harus diajak bicara. Apalagi jika ada situs penting seperti kuburan adat yang terdampak. Kalau ini diabaikan, legitimasi sosial proyek bisa dipertanyakan,” kata Sendi.
Ia menambahkan bahwa partisipasi sejak tahap perencanaan sangat penting untuk membangun kepercayaan dan mencegah konflik sosial di kemudian hari.
Masyarakat berharap proses pembangunan proyek tambang Elang tidak mengorbankan nilai-nilai budaya, lingkungan, dan hak-hak masyarakat yang telah hidup turun-temurun di wilayah tersebut.
Pewarta: Red
Editor: R7 - 01
0Komentar