Oleh: Aldiansyah, ST.
Sumbawa - Reportase7.com
Kami tidak ingin sekadar dikenang lewat seremoni. Kami ingin diakui, didengar, dan dihormati sebagai pemilik tanah ini.
Ketika Nama Kami Dilecehkan
Selasa 5 Agustus 2025, saya membaca sebuah opini berjudul “Tau Samawa yang di-berco-kan: ironi sejarah Sumbawa”. Tulisan itu menyebut seolah-olah simbol Berco adalah produk artifisial, simbol buatan, atau bahkan tempelan politik belaka yang mencemari kesakralan sejarah Samawa.
Sebagai seorang pemuda adat dari komunitas Cek Bocek/Selesek Reen Sury (Suku Berco), saya tidak hanya kecewa, tapi juga merasa dilucuti dari sejarah dan martabat kami sendiri. Sebab kami lahir, hidup, dan tumbuh dari sistem nilai yang jauh lebih tua dari narasi resmi sejarah yang sering diangkat elite dan penguasa lokal.
Kami Bukan 'Tau Samawa' Versi Tunggal
Kami bukan bagian dari aristokrasi, bukan keturunan bangsawan, dan bukan pula bagian dari struktur Kesultanan Sumbawa. Tapi bukan berarti kami tidak punya sejarah, tidak punya hukum adat, tidak punya spiritualitas, tidak punya nilai.
Kami adalah masyarakat adat
Dan “Berco” bukan hiasan. Ia adalah warisan pengetahuan, kode etik hidup, hingga panji perjuangan yang kami kibarkan dalam perlawanan atas pengabaian, perampasan, dan penghinaan. Kami tidak “di-berco-kan”. Kami memang Berco sejak leluhur kami menapakkan kaki di tanah ini.
Yang Tidak Terlihat di Panggung Adat Resmi
Lembaga Adat Tana Samawa (LATS), Kesultanan, hingga seremoni Musyawarah Adat mungkin tampak besar di mata publik. Tapi tak satu pun dari mereka yang pernah hadir saat hutan kami ditebang, situs leluhur kami dirusak, dan hak hidup kami dikorbankan demi ekspansi tambang.
Perusahaan raksasa seperti PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) terus menggali emas dan tembaga dari tanah kami, sementara kami tidak diajak bicara, tidak diberi bagian, bahkan tidak dianggap ada. Apakah ini yang disebut adat dan persatuan Samawa?
Simbolisme yang Membungkam
Berulang kali kami melihat bendera kebesaran adat dikibarkan dalam upacara, namun simbol itu tidak membela kami. Simbol menjadi estetika yang membungkam, bukan etika yang melindungi.
Sementara itu, Berco yang kami angkat dari tanah, dari air, dari hutan, dan dari darah para leluhur kami – justru dicurigai, diremehkan, bahkan dijadikan bahan sindiran. Di situlah letak ironi sesungguhnya: identitas yang tidak sesuai dengan narasi dominan dianggap ilusi.
Generasi Baru, Perlawanan Baru
Kami, para pemuda adat, tidak ingin hidup dalam romantisme simbolik. Kami ingin masa depan yang adil – di mana adat bukan hanya dipajang, tapi dijalankan. Di mana hak atas tanah, atas air, atas udara, dan atas suara — semuanya dihormati, termasuk dari komunitas kecil seperti kami yang disebut Suku Berco.
Kami menulis Perdes, kami dokumentasikan sejarah lisan kami, kami bangun website sendiri, dan kini kami berbicara dalam bahasa hukum, bahasa media, dan bahasa dunia. Tapi jangan salah: kami tidak melupakan bahasa nenek moyang kami. Kami justru sedang menghidupkannya.
Kami Tidak Minta Izin untuk Diakui
Pengakuan bukan hadiah dari atas. Pengakuan adalah hak dasar sebagai manusia dan sebagai masyarakat adat yang hidup, nyata, dan terus berjuang.
Kami tidak ingin sekadar dijadikan bagian dari parade kebudayaan atau dijadikan pelengkap narasi besar yang menenggelamkan kami. Kami ingin dikenal sebagaimana adanya bangsa kecil yang bertahan, melawan lupa, dan menolak tunduk.
Kami Tetap Berdiri
Kami bukan simbol. Kami adalah tubuh yang berdiri di atas tanah ini. Kami tidak “mengada-ada” ketika menyebut diri Suku Berco. Kami sedang menegaskan bahwa kami ada. Kami di sini. Kami tetap berdiri.
Dan selama tanah ini masih memberi kami napas, kami akan terus bersuara.
Puisi Sia Sangat Balong.
BalasHapusSebut Satu Dasar sacara keilmuan, Bahwa Suku berco itu ada.
Dan Sebut satu dokumen sejarah yang bisa dijadikan Bukti primer Suku berco itu nyata