Lombok Barat - Reportase7.com
Praktik pengavlingan liar marak terjadi di Kabupaten Lombok Barat, terutama di wilayah Gunungsari dan sekitarnya, Hal ini menjadi atensi beberapa pihak, pengavlingan liar tanpa izin dan dokumen resmi dari pemerintah sudah berjalan cukup lama bahkan pihak pengembang yang menjual tanah kavlingan sudah menjadi bisnis liar yang menjamur. (18/09/2021)
Beberapa pihak menyoroti hal tersebut, Arbain selaku Pjs Desa Jatisela menjelaskan untuk mengurus ijin pemasarannya sebelum melakukan progres di lapangan.
"Kami tidak pernah menerima permohonan rekomendasi untuk izin pemasaran tanah kavlingan. Saya sudah menyarankan agar diurus izinnya, tapi sampai sekarang belum ada," ungkap Pjs. Kepala Desa Jatisela, Arbain, diruangannya, Kamis (16/9).
Beberapa pengembang pengavlingan yakni Sukron dan Izham keduanya melaksanakan usaha secara perseorangan. "Hanya satu yang sudah kami buatkan rekom, yaitu Izham. Itupun usaha jual tanah kavlingan secara kredit sudah jalan, mereka baru minta rekomendasi Desa," imbuhnya.
Sebelumnya, Arbain telah melaporkan hal tersebut ke Sat Pol PP kecamatan. Bahkan sudah sebanyak tiga kali kami laporkan ke pemerintah daerah Lombok Barat, dan para penjual tanah kavlingan sudah dilayangkan surat teguran oleh dinas terkait. Namun yang bersangkutan tidak merespon.
"Tahun 2019, lahan pertanian di Jatisela masih berkisar 100 hektare. Sekarang luas lahan di Desa kami kurang dari 30 hektare, karena tanah-tanahnya sudah banyak dikavling," imbuhnya.
Ditempat terpisah, Ketua Lingkar Study Pengawasan Pembangunan (STRIPP) NTB, Syarif Hasim menyayangkan masih adanya praktik penjualan tanah kavling secara ilegal. Pasalnya, selain masyarakat, daerah turut mengalami kerugian. Jika aktivitas ilegal itu tidak segera dihentikan, maka ruang terbuka hijau akan habis. Tidak ada lagi tanah produktif yang dapat dimanfaatkan.
"Masalah perizinan membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Ya Keburu tanahnya habis. Saya sangat menyayangkan jika pemerintah menutup mata serta lalai dan jika tanah-tanah yang masih produktif dipangkas untuk pengkavlingan. Mengapa tidak sebaiknya mengkomersilkan tanah-tanah yang sudah tidak produktif," cetusnya.
Menurutnya, penjualan tanah Kavling secara ilegal marak terjadi, saat Bendungan Meninting mulai dibangun oleh pemerintah. Sejak saat itu, sejumlah pihak bergerilia memetakan lokasi untuk dijadikan lahan kavlingan.
"Tidak hanya di Jatisela, di kecamatan Gunungsari masih banyak tanah kavling yang dijual tanpa izin resmi," ungkapnya.
Dia menegaskan, sebelum melaksanakan pengkavlingan lahan hingga proses pemasarannya, yang bersangkutan wajib mengantongi rekomendasi peruntukan ruang sebagai salah satu syarat. Jika hal itu tidak dipenuhi, baik perusahaan pengembang maupun perseorang, harus menghentikan usahanya.
Ketua STRIPP NTB mendesak Pemerintah Lombok Barat melalui Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah (TKPRD), untuk mengambil tindakan tegas, dengan menutup lokasi-lokasi yang tengah digarap menjadi lahan kavlingan untuk kepentingan jual beli sampai dokumen dilengkapi secara resmi dan akurat.
"Tindak lanjut pemerintah daerah hanya sebatas teguran. Tidak ada sanksi tegas yang akan menjadi efek jera terhadap oknum pengembang," tegasnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Tata Ruang, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Lobar, L. Sudiana, membenarkan adanya aktivitas kavling tanah secara ilegal, di Desa Jatisela. Pihaknya berkomitmen akan segera mengadakan rapat internal dan mengundang BPN Lobar. "Kami akan membahasnya segera," ujarnya.
Saat dikonfirmasi, Sukron salahsatu pengkavling lahan di dusun Ireng Lauk, tidak kooperatif terhadap awak media. Sampai berita ini ditayangkan, belum ada penjelasan secara rinci terkait usahanya menjual tanah kavlingan, secara ilegal.
"Kami tidak menerima LSM atau sejenisnya untuk berbicara masalah tanah kavlingan yang kami garap bos ku. Toh, masyarakat yang ribut hanya satu dua orang saja. Apa urusannya mereka," tandasnya.
Pewarta: YD
Editor: R7 - 01
0Komentar