![]() |
| (Foto: Pemerhati Keadilan dan Hukum Nusa Tenggra Barat Supajo Rustam, S.H. C.Md., CLA.) |
Sumbawa - Reportase7.com
Eksekusi lahan di Dusun Ai Jati (Simpang Tano), Desa Mapin Kebak, Kecamatan Alas Barat, Kabupaten Sumbawa mendapat perhatian dari pemerhati keadilan dan hukum Nusa Tenggra Barat Supajo Rustam, S.H. C.Md., CLA. Ia menyebutkan Kerusuhan yang terjadi pada saat eksekusi lahan oleh aparat kepolisian Resort Sumbawa adalah contoh konflik agraria klasik di Indonesia yang berlarut-larut (sejak 1996) dan melibatkan bentrokan antara penegakan putusan hukum yang telah berkekuatan tetap (inkracht) dengan klaim hak kepemilikan dan penguasaan fisik oleh warga, Jumat 07 November 2025.
Analisis Aspek Hukum Perdata (Eksekusi)
Eksekusi lahan di Ai Jati didasarkan pada Putusan Perkara Perdata yang sudah inkracht. Secara hukum, putusan ini wajib dilaksanakan oleh Ketua Pengadilan Negeri Sumbawa melalui Panitera/Jurusita, sesuai Pasal 195 Herzien Inlandsch Reglement (HIR).
Warga berpendapat bahwa, putusan yang berasal dari tahun 1991 dan 1996 telah kadaluwarsa (Verjaring). Namun, dalam hukum acara perdata Indonesia, secara umum tidak ada batasan waktu (kadaluwarsa) untuk melaksanakan putusan yang telah inkracht (berkekuatan hukum tetap).
"Selama putusan belum dilaksanakan, pihak yang menang berhak meminta eksekusi, meskipun upaya eksekusi itu sendiri bisa ditunda berkali-kali," ujar Jho sapaan akrabnya.
Hak Atas Tanah Warga (Pihak Ketiga)
Warga mengklaim memiliki sertifikat atau menguasai lahan tersebut sejak lama (1973), jauh sebelum sengketa diputus. Jika warga penggarap atau penghuni adalah pihak yang kalah dalam perkara, klaim mereka telah tertolak di tingkat pengadilan.
Jika warga penggarap atau penghuni adalah pihak ketiga yang tidak diikutkan dalam perkara, mereka berhak mengajukan Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet). Jika Derden Verzet diajukan dan diterima PN Sumbawa, eksekusi seharusnya ditunda hingga perlawanan tersebut diputus dan putusannya inkracht.
Ada klaim bahwa eksekusi dilakukan tanpa kehadiran langsung petugas PN (jurusita/panitera). Kehadiran resmi Jurusita dan Panitera PN adalah syarat mutlak keabsahan prosedur eksekusi riil.
"Polisi hadir hanya untuk pengamanan. Jika klaim tidak adanya petugas PN benar, eksekusi tersebut tidak sah secara prosedural dan dapat menjadi alasan gugurnya upaya eksekusi saat itu," terang Jho.
Analisis Aspek Pidana (Kekerasan dan Perlawanan)
Meskipun terdapat sengketa hukum perdata yang belum tuntas di mata warga, tindakan perlawanan yang berujung pada kericuhan dan kekerasan fisik terhadap aparat penegak hukum (Polri) merupakan pelanggaran pidana yang serius.
Warga yang melakukan penyerangan menggunakan senjata tajam, panah, dan benda tumpul terhadap petugas saat pengamanan eksekusi dapat dijerat dengan: Pasal 212 KUHP: Melawan atau menghalangi petugas yang sedang menjalankan tugas.
Pasal 351 KUHP: Penganiayaan (jika mengakibatkan luka, terutama luka berat). Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951: Terkait kepemilikan dan penggunaan senjata tajam.
"Polisi dalam eksekusi bertindak murni sebagai pengaman (penjaga ketertiban umum) atas perintah PN, bukan sebagai pihak yang berperkara. Penyerangan terhadap aparat saat bertugas adalah tindak pidana dan harus diproses sesuai hukum pidana," ungkapnya.
Aktor Intelektual (Provokator)
Pihak kepolisian juga berhak dan wajib mengusut pihak-pihak yang diduga menjadi provokator atau aktor intelektual di balik kerusuhan tersebut, yang memicu massa untuk bertindak anarkis, untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana.
Suparjo menambahkan.
Ia menyebutkan eksekusi sah secara substansi. Putusan pengadilan yang inkracht pada dasarnya harus dihormati dan dilaksanakan sebagai bentuk penegakan hukum dan kepastian.
"Kekerasan pidana tidak dibenarkan, perlawanan yang anarkis, apalagi yang menimbulkan korban luka parah di pihak petugas, adalah tindak pidana yang tidak dapat dibenarkan oleh alasan hukum perdata apa pun. Proses hukum pidana terhadap pelaku penyerangan harus berjalan," tegasnya.
Lebih jauh suparjo menegasaka, jika warga adalah pihak yang kalah, mereka harus menerima putusan tersebut. Jika mereka adalah pihak ketiga yang dirugikan, perlawanan yang benar adalah melalui Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet) di pengadilan, bukan dengan kekerasan.
Audit Prosedural PN Sumbawa
Penting untuk mengklarifikasi klaim kuasa hukum warga mengenai ketidakhadiran petugas PN Sumbawa saat eksekusi. Jika terbukti benar, PN Sumbawa dapat dianggap cacat prosedural dalam pelaksanaan eksekusi, meskipun hal ini tidak menggugurkan putusan inkracht, namun dapat menjadi alasan penundaan atau pembatalan upaya eksekusi pada tanggal tersebut.
"Intinya putusan hukum harus ditegakkan, tetapi kekerasan dalam menolak eksekusi merupakan pelanggaran pidana. PN Sumbawa perlu memastikan prosedur eksekusi ditaati sepenuhnya dan mempertimbangkan dimensi kemanusiaan serta potensi Derden Verzet yang sah dari warga," pungkaanya.
Pewarta: Red
Editor: R7 - 01


0Komentar