Pola Lama Delegitimasi Masyarakat Adat Kembali Terulang di Sumbawa

Sumbawa - Reportase7.com

Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Daerah Sumbawa, Febriyan Anindita, mengkritik keras klaim seorang akademisi Universitas Samawa (Unsa) yang menyebut masyarakat adat Cek Bocek Selesek Reen Sury “baru muncul setelah tambang beroperasi”. 

"Narasi semacam itu bukan hal baru. Ini pola lama. Tahun 2012, delegitimasi yang sama pernah dilakukan lewat penelitian Lab Sosio UI, dan masyarakat adat kembali dijadikan korban,” ujar Febriyan kepada media ini, Senin, 29 September 2025. 

Febriyan mengingatkan, lebih dari satu dekade lalu, riset Lab Sosio UI yang dibiayai PT Newmont Nusa Tenggara menuai polemik. Laporan yang dipaparkan kala itu disebut “mentah secara metodologis” dan dianggap mempertanyakan eksistensi masyarakat adat Cek Bocek. Alih-alih membantu penyelesaian konflik, penelitian itu justru dipakai perusahaan tambang untuk memperkuat posisi mereka. 

“Sekarang pola itu diulang kembali dengan wajah baru. Akademisi karbitan tampil seolah netral, padahal wacana yang dibangun jelas menegasikan sejarah panjang komunitas adat,” kata Febriyan. 

AMAN Sumbawa juga mempertanyakan disiplin keilmuan yang dipakai akademisi Unsa tersebut. “Kalau benar berbicara soal antropologi, maka seharusnya memahami bahwa masyarakat adat bukanlah produk instan, apalagi lahir karena tambang. Ada genealogis, ritual, bahasa, tanah ulayat, dan ingatan kolektif yang menjadi dasar eksistensi. Menyebut Cek Bocek baru muncul itu sama saja menghapus fakta sejarah,” ujarnya. 

Febriyan menilai pernyataan akademisi Unsa lebih menyerupai tafsir kepentingan ketimbang analisis ilmiah. 

“Ini bukan antropologi, bukan pula sosiologi. Ini adalah politisasi akademik,” katanya. 

Konflik masyarakat adat Cek Bocek dengan perusahaan tambang sudah berlangsung sejak awal 2000-an, saat konsesi pertambangan masuk ke wilayah leluhur mereka. Laporan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mencatat Cek Bocek Selesek Reen Sury sebagai komunitas adat yang memiliki struktur kepemimpinan, wilayah adat, hingga ritual keagamaan yang terus dijalankan. 

“Bahkan di database resmi, komunitas ini diakui. Jadi siapa yang sesungguhnya berusaha menghapus fakta?” tutur Febriyan. 

Menurutnya, delegitimasi masyarakat adat selalu menjadi pintu masuk bagi perusahaan dan negara untuk meredam perlawanan. 

“Ini manajemen konflik gaya lama: pertama, ragukan keberadaan komunitas; kedua, pecah belah masyarakat; ketiga, kuasai ruang hidup mereka,” katanya. 

Ia menegaskan bahwa sikap AMAN adalah melawan strategi semacam itu dengan data, sejarah, dan solidaritas gerakan. 

Febriyan mengajak masyarakat luas untuk waspada. “Kalau akademisi sudah dipakai untuk meragukan masyarakat adat, itu tanda kita sedang menghadapi represi yang halus. Tapi masyarakat adat tidak bisa dihapus hanya dengan satu narasi. Kami sudah ada jauh sebelum tambang datang, dan akan tetap ada setelah tambang pergi,” pungkasnya.

Pewarta: Red
Editor: R7 - 01