Melalui Virtual, Copper Mark Bahas Konflik Tambang dengan Masyarakat Adat Cek Bocek Selesek Reen Sury

Sumbawa – Reportase7.com

Proses pengaduan masyarakat adat Cek Bocek/Selesek Reen Sury terhadap PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) memasuki babak penting. Copper Mark dari Lembaga Sertifikasi Pertambangan Internasional, menggelar pertemuan virtual melalui Zoom dengan para pengadu. Diskusi yang berlangsung sejak pukul 16.00 hingga 17.30 Wita itu dipimpin langsung oleh Prof Humberto Cantu Rivera, responsible person Copper Mark, Kamis 25 September 2025.

Dari pihak pengadu hadir Febriyan Anindita dari AMAN Sumbawa dan Datu Sukanda, tetua Masyarakat Adat Cek Bocek. Mereka memaparkan dampak tambang yang telah berlangsung bertahun-tahun: terbatasnya akses masyarakat ke wilayah leluhur, terisolasinya kuburan nenek moyang, hingga intimidasi aparat keamanan dan satuan pengamanan perusahaan. “Bagi kami, ini bukan hanya soal kerusakan material, melainkan ancaman terhadap identitas dan budaya,” ujar Febriyan. 

Selain itu, para pengadu menekankan pentingnya membedakan masyarakat adat dengan kesultanan dalam proses fact finding. Menurut Febriyan, kesultanan sering dipakai perusahaan sebagai legitimasi simbolik, padahal komunitas adatlah yang sehari-hari hidup, berladang, dan menjaga tanah leluhur. “Kesultanan tidak merasakan langsung dampak tambang. Kami yang kehilangan akses dan dihantui intimidasi,” tegasnya. 

Ujian Mekanisme Sertifikasi 

Pertemuan juga dihadiri tokoh pendamping, antara lain Prabindra Shakya dari AIPNEE, Erasmus Cahyadi, dan Sinung Karto dari Kedeputian Advokasi Hukum dan HAM Pengurus Besar AMAN. Mereka menyoroti jurang antara mekanisme administratif Copper Mark dan realitas di lapangan. Prof Humberto menegaskan bahwa semua bukti harus dikirim melalui portal resmi Copper Mark agar diakui sah dalam laporan. Namun, para pendamping mengingatkan bahwa prosedur semacam itu kerap menyulitkan masyarakat adat yang terbatas akses teknologi. 

Menurut Humberto, keputusan admissibility kemungkinan akan diambil pertengahan hingga akhir Oktober 2025. Hasil itu akan menentukan apakah pengaduan diterima untuk ditindaklanjuti dalam dialog dengan perusahaan atau langkah lain. “Yang bisa saya pastikan, rekomendasi akan mengacu pada instrumen hukum internasional, termasuk UNDRIP dan prinsip hak asasi manusia,” katanya. 

Harapan Komunitas 

Meski jalan masih panjang, masyarakat adat berharap pengaduan ini tidak berakhir sebagai ritual administratif belaka. Mereka ingin Copper Mark mengakui pelanggaran mendasar: pengabaian hak-hak budaya, pelanggaran prinsip FPIC (Free, Prior, and Informed Consent), serta praktik intimidasi. 

“Yang kami tuntut sederhana: pengakuan atas kesalahan perusahaan dan pemulihan hak kami. Jangan samakan kami dengan kesultanan, karena yang menderita adalah masyarakat adat,” kata Febriyan. 

Pertemuan daring itu menutup satu bab penting, sekaligus membuka pertanyaan: apakah Copper Mark berani menegakkan standar yang dijanjikannya, atau sekadar menjadi stempel legitimasi perusahaan tambang global.

Pewarta: Red
Editor: R7 - 01