Oleh: Ipa Bahya
(Dosen Universitas Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia. Mata Kuliah Feminisme, Pengantar Ilmu Sastra, Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia, Sastra Populer, Sejarah Sastra Indonesia, Bahasa Indonesia.)
Makasar - Reportase7
Alam yang Memberi dan Kini Terkikis Bima adalah wilayah yang diberkahi dengan bentang alam yang luar biasa. Diapit oleh laut dan gunung, Bima memiliki kekayaan geografis yang unik, sabana yang membentang luas seperti Afrika kecil di jantung Nusa Tenggara Barat, hutan-hutan tropis yang menyimpan sumber air bersih, serta garis pantai yang membentang dengan keindahan yang belum sepenuhnya tersentuh industri pariwisata. Masyarakat Bima selama ratusan tahun hidup berdampingan dengan alam ini. Gunung menjadi tempat bertani, laut menjadi tempat mencari ikan, dan hutan menjadi tempat berburu, mengambil kayu, serta menyimpan cadangan air.
Namun harmoni itu kini retak. Dalam dua dekade terakhir, tekanan terhadap lingkungan meningkat secara drastis. Pertumbuhan penduduk, perluasan lahan pertanian, dan eksploitasi sumber daya alam berjalan lebih cepat dibanding kesadaran akan pentingnya kelestarian. Di sinilah awal mula keruntuhan ekologis Bima.
Kekeringan, Ketika Air Tak Lagi Mengalir
Salah satu potret paling menyakitkan dari kerusakan lingkungan di Bima adalah krisis air bersih. Setiap musim kemarau, terutama pada bulan Juli hingga Oktober, ribuan warga di sejumlah desa seperti Kalampa, Talabiu, Raba, dan sebagian wilayah di kecamatan Woha dan Belo harus bergantung pada pasokan air dari mobil tangki. Sumur-sumur mengering, sungai menyusut, dan mata air mati perlahan.
Padahal, daerah ini dulunya tidak segersang itu. Namun sejak hutan di lereng-lereng pegunungan dibabat untuk membuka lahan jagung secara besar-besaran, fungsi resapan air alami hilang. Jagung memang menjanjikan secara ekonomi, tetapi tanpa regulasi dan batasan, ia berubah menjadi ancaman ekologis. Lahan digarap tanpa memperhatikan kontur, pohon-pohon besar ditebang tanpa reboisasi, dan lereng dibiarkan terbuka. Akibatnya, air hujan langsung mengalir ke permukaan dan tidak meresap ke tanah. Maka tak heran, ketika musim hujan datang, banjir melanda. Saat kemarau, kekeringan menggigit.
Air bersih yang dulu tersedia di halaman rumah kini harus dibeli. Ironi ini sangat terasa: di wilayah yang dikelilingi laut, masyarakat kesulitan mendapatkan air yang bisa diminum.
Banjir dan Longsor, Bencana yang Diciptakan
Siklus bencana di Bima menunjukkan pola yang semakin jelas dan berulang. Setiap musim hujan, wilayah ini dihantam banjir bandang dan tanah longsor. Sungai-sungai besar seperti Sari, Wera, dan Tera berubah menjadi jalur air liar yang membawa lumpur, kayu, dan batu dari hulu ke hilir. Dalam hitungan jam, air dapat merendam ratusan rumah, memutus jalan penghubung antar desa, bahkan menelan korban jiwa.
Pada Januari 2025, banjir bandang menerjang tiga kecamatan di Kabupaten Bima. Ribuan rumah terendam, ratusan hektare lahan pertanian rusak, dan puluhan ribu orang harus mengungsi. Ini bukan kali pertama. Hampir setiap tahun, Bima dihantam bencana serupa. Yang menjadi ironi, intensitas hujan sebenarnya tidak terlalu ekstrem, namun daya serap tanah sudah tidak ada.
Masalah utamanya terletak pada rusaknya daerah aliran sungai (DAS). Hutan-hutan yang dulunya menjadi penyangga air dan pengendali sedimentasi telah berubah menjadi ladang-ladang pertanian monokultur. Tanah di perbukitan tergerus, menyumbat sungai dengan sedimen, dan ketika hujan turun, air tak lagi mampu tertampung. Ini bukan semata soal cuaca, ini soal kerusakan sistematis pada tubuh ekologis Bima.
Laut yang Tercemar, Pantai yang Terlupakan
Selain daratan, wilayah pesisir dan laut di Bima juga berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Kota Bima, yang terletak langsung di tepi Teluk Bima, memiliki garis pantai yang panjang dan potensi bahari luar biasa. Pulau-pulau kecil seperti Pulau Kelapa, Pulau Ular, dan perairan di sekitar Lambu menawarkan keindahan bawah laut yang eksotis. Namun potensi ini terancam oleh pencemaran dan kurangnya pengelolaan kawasan pesisir secara berkelanjutan.
Limbah rumah tangga, plastik, dan bahkan limbah medis mencemari pantai-pantai kota. Di sekitar muara sungai, sering terlihat tumpukan sampah yang terbawa dari hulu. Ekosistem mangrove menyusut drastis akibat pembukaan lahan dan konversi untuk tambak atau bangunan liar. Padahal mangrove adalah benteng terakhir penahan abrasi dan tempat berkembang biaknya banyak biota laut.
Selain itu, praktik penangkapan ikan yang merusak, seperti penggunaan bom dan potas, masih ditemukan di beberapa wilayah pesisir. Terumbu karang rusak, populasi ikan menurun, dan masyarakat pesisir kehilangan sumber penghidupan yang stabil. Apa yang dulunya menjadi sumber pangan dan kekayaan laut, kini berubah menjadi perairan yang sekarat.
Masyarakat dalam Pusaran Krisis
Krisis lingkungan di Bima bukan hanya soal tanah, air, dan udara. Ia adalah soal manusia—tentang bagaimana masyarakat lokal dipaksa beradaptasi di tengah kerusakan yang sebagian besar tidak mereka pilih. Di desa-desa yang dulu subur, kini warga harus bekerja lebih keras untuk hasil yang lebih sedikit. Petani menghadapi musim tanam yang semakin sulit diprediksi. Kekeringan memaksa mereka menanam lebih sedikit, sementara banjir bisa menghancurkan sawah dalam semalam.
Dampak paling nyata terasa pada perempuan dan anak-anak. Ketika air bersih sulit diperoleh, perempuanlah yang harus berjalan lebih jauh menimba air. Ketika terjadi bencana, anak-anaklah yang paling rentan kehilangan akses pendidikan, keamanan, dan nutrisi. Dalam keadaan seperti ini, krisis lingkungan berubah menjadi krisis sosial yang memperdalam kesenjangan dan kerentanan.
Beberapa komunitas lokal mulai kehilangan kepercayaan terhadap janji pembangunan yang berkelanjutan. Mereka melihat infrastruktur yang dibangun, tetapi juga melihat sungai yang mati. Mereka menyaksikan hadirnya program bantuan, tetapi merasa tak pernah disentuh oleh solusi nyata. Perubahan iklim dan kerusakan lingkungan bukan lagi wacana ilmiah—mereka adalah kenyataan pahit yang menumpuk dalam kehidupan sehari-hari.
Gerakan Akar Rumput yang Tumbuh dalam Senyap
Meski berada dalam tekanan, tidak semua harapan padam. Di antara reruntuhan ekologis, ada gerakan kecil yang tumbuh. Komunitas pemuda di beberapa desa mulai melakukan penghijauan mandiri. Mereka menanam kembali pohon-pohon di lahan kritis dengan harapan bisa menghidupkan kembali mata air yang telah mati. Di kota, siswa-siswa sekolah mulai dikenalkan pada pentingnya memilah sampah dan menjaga kebersihan pantai.
Kelompok masyarakat adat juga mulai menguatkan kembali nilai-nilai lama yang mengajarkan keseimbangan dengan alam. Hukum-hukum adat tentang larangan menebang pohon sembarangan, memancing dengan bahan kimia, atau membuang sampah ke sungai mulai ditegakkan lagi di beberapa wilayah. Meski perlahan, ini adalah bentuk resistensi terhadap kerusakan.
Sayangnya, gerakan ini masih bersifat sporadis dan belum mendapat dukungan sistemik. Banyak inisiatif baik yang terhambat karena ketiadaan dana, akses pengetahuan, atau perlindungan hukum. Namun mereka tetap bergerak, meski tanpa tepuk tangan dan sorotan.
Pemerintah, Regulasi, dan Ketidaktegasan yang Mahal
Pemerintah daerah sebenarnya tidak buta terhadap masalah ini. Berbagai kebijakan telah dicanangkan—mulai dari penanaman kembali hutan, pembangunan infrastruktur pengendali banjir, hingga sosialisasi pemilahan sampah. Namun di lapangan, pelaksanaannya sering tidak sejalan dengan kenyataan.
Alih fungsi hutan masih terus berlangsung tanpa pengawasan ketat. Tambang rakyat ilegal muncul dan mengikis lereng-lereng bukit. Regulasi lingkungan seringkali ada hanya sebagai dokumen, tidak sebagai panduan yang ditegakkan. Sanksi terhadap pelanggar lingkungan lemah, sementara insentif terhadap petani atau warga yang menjaga alam masih sangat minim.
Yang lebih parah, banyak proyek pembangunan yang justru memperparah kerusakan. Pembangunan jalan tanpa kajian lingkungan merusak kontur tanah dan memicu longsor. Pengembangan kawasan pesisir untuk pariwisata tak jarang menggusur mangrove dan merusak ekosistem laut. Dalam banyak kasus, pembangunan dipaksakan, tanpa mendengarkan suara lokal atau memikirkan dampak jangka panjang.
Kelemahan regulasi dan ketidaktegasan kebijakan adalah bentuk pembiaran yang mahal. Sebab setiap kerusakan yang dibiarkan hari ini, akan dibayar mahal oleh generasi mendatang.
Refleksi dan Seruan Perubahan
Bima hari ini adalah cermin dari banyak wilayah lain di Indonesia kaya akan sumber daya alam, namun miskin dalam menjaga kelestariannya. Ketika pembangunan dijalankan tanpa ekologi sebagai fondasi, maka hasilnya adalah pertumbuhan yang semu. Apa gunanya jalan-jalan baru jika setiap tahun banjir menutupinya? Apa gunanya listrik dan air bersih di kota jika desa-desa kekeringan?
Sudah saatnya Bima menata ulang relasi antara manusia dan alamnya. Ini bukan soal memilih antara pembangunan atau pelestarian. Ini soal keberanian untuk membangun dengan cara yang adil terhadap lingkungan. Pemerintah harus berani membatasi eksploitasi, menindak pelanggar lingkungan, dan memberi ruang bagi masyarakat lokal untuk menjadi penjaga alam.
Masyarakat juga harus berani berubah. Pola konsumsi, kebiasaan membuang sampah, cara bertani, dan cara membangun rumah harus disesuaikan dengan prinsip keberlanjutan. Pendidikan lingkungan harus dimasukkan ke dalam semua jenjang, bukan sebagai pelajaran tambahan, tapi sebagai prinsip hidup.
Dan terakhir, kita harus sadar bahwa waktu kita hampir habis. Jika kerusakan ini dibiarkan terus, maka masa depan Bima akan menjadi masa depan krisis: tanah tandus, sungai mati, laut tercemar, dan masyarakat yang kehilangan harapan.
Namun jika perubahan dimulai hari ini meski kecil, meski sederhana, maka Bima masih bisa diselamatkan. Alam belum sepenuhnya hilang. Ia menunggu uluran tangan manusia, bukan untuk dieksploitasi, tapi untuk dipulihkan. Karena pada akhirnya, menyelamatkan lingkungan bukan tentang menyelamatkan pohon, gunung, atau laut. Ini adalah tentang menyelamatkan diri kita sendiri.
0Komentar