(Foto: ketua Divisi Kajian Pariwisata, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Kawal NTB Lale Uswatun Hasanah)
Lombok Tengah - Reportase7.com
Dukungan yang disampaikan Forum Kepala Desa (FKD) Kecamatan Pujut terhadap penataan kawasan Pantai Tanjung Aan dan pengosongan lapak warga menuai kritik tajam dari sejumlah pihak, terutama kalangan pemerhati lingkungan dan keadilan sosial di NTB
FKD menyatakan bahwa bangunan-bangunan semi permanen di pesisir merupakan pemanfaatan lahan negara secara ilegal dan mendukung langkah pemerintah serta ITDC untuk melakukan pengosongan demi kelancaran investasi.
Namun, pernyataan tersebut menimbulkan pertanyaan mendasar, untuk siapa Kepala Desa bersuara? Apakah benar mereka masih berdiri atas nama masyarakat, atau telah bergeser menjadi corong kepentingan investor? Pertemuan di kantor Bupati antara ITDC pihak Investor dan Pemda yang di wakili Sekda L. Firman Wijaya sama seklai tidak menemui solusi.
Tanggapan Kawal NTB: Pemerintahan Desa Harus Berdiri Bersama Warga
Menanggapi hal ini, ketua Divisi Kajian Pariwisata, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup Kawal NTB Lale Uswatun Hasanah menyampaikan pernyataan tegas. Ia menolak keras cara-cara diskriminatif yang menyingkirkan warga tanpa solusi. Kepala Desa harus melindungi warganya dan berdiri bersama untuk membela kepentingan masyarakatnya.
“Kami tidak menolak penataan, tapi kami menolak cara yang menyingkirkan warga tanpa solusi. Kami kecewa melihat Kepala Desa yang seharusnya menjadi benteng perlindungan warga, justru menyuarakan percepatan pengosongan tanpa ada pembelaan terhadap pelaku usaha kecil yang sudah lama menggantungkan hidup di kawasan itu,” ujar Lale dengan suara lantang, Kamis 03 Juli 2025.
“Forum Kepala Desa tampaknya lebih sibuk menjaga kelancaran investasi, ketimbang memperjuangkan keterlibatan dan nasib warga yang terdampak. Ini bukan hanya soal pembangunan, ini soal keberpihakan,” lanjutnya.
Realitas Lapangan dan Ketimpangan Pengelolaan
Pantai Tanjung Aan adalah bagian dari zona strategis KEK Mandalika, yang kini tengah diarahkan menjadi pusat kegiatan internasional seperti MotoGP dan ajang olahraga global lainnya. Namun, di tengah pembangunan infrastruktur mewah dan fasilitas eksklusif, ketimpangan pengelolaan menjadi jelas terlihat.
Sebagian besar pelaku usaha kecil yang telah puluhan tahun menggantungkan hidup di kawasan tersebut tidak pernah diberikan kejelasan status, akses legal, maupun fasilitas pendukung untuk berkembang. Alih-alih dibina, mereka justru diminta “mengosongkan” lahan atas nama estetika dan penataan.
Dalam sikap resminya, Kawal NTB menegaskan bahwa pembangunan dan investasi tidak boleh berjalan dengan cara mengorbankan masyarakat lokal. Kawal NTB mendorong:
1. Zonasi legal untuk pelaku usaha lokal, dengan desain yang tertata dan ramah lingkungan.
2. Skema relokasi yang disertai pendampingan usaha, pelatihan, dan akses modal.
3. Kemitraan antara investor dan pelaku lokal, agar warga tidak menjadi penonton di tanahnya sendiri.
4. Pelibatan aktif masyarakat dalam proses penataan, bukan hanya diberi perintah untuk mengosongkan.
Pembangunan Harus Adil dan manusiawi juga terukur
Tanjung Aan tidak hanya milik investor. Ia juga milik warga yang merawat, berjualan, membangun relasi sosial dan ekonomi di sana. Jika kepala desa tidak berdiri untuk mereka, siapa lagi?
Kawal NTB akan terus mengawal proses ini agar tidak menjadi cerita tentang pembangunan yang hanya meninggalkan puing-puing sosial di belakangnya.
Terkait dengan hasil pertemuan Sekda bersmaa ITDC dan Investor tentu bukan solusi ketikan yang di sampaikan pengosongan harga mati tanpa ada alternatif yang lain.
Sekda perlu belajar sejak kapan Sepadan pantai menjadi HPL? Apalagi ada upaya mengkambinghitamkan tanjung aan sebagai lokasi peredaran dan pennggunaan narkoba adalah upaya konyol pemda dalam mencoba melabel kawasan wisata dengan tidan menunjukkan bukti yang jelas.
Pewarta: Red
Editor: R7 - 01
Kawal NTB Soroti Penataan Tanjung Aan, Menolak Diskriminatif Singkirkan Warga Tanpa Solusi
Redaksi
Font size:
12px
Baca juga:
0Komentar