(Foto: Juju Purwantoro, SH., MH, Ketua DPP partai UMMAT bidang Advokasi Hukum)


Jakarta - Reportase7.com

Gugatan perdata yang diajukan partai Prima kepada KPU pada 8 Desember 2022 lalu diputus oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada Kamis, (02/03/).

Perkara dengan nomor register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, telah dimenangkan oleh partai Prima, dengan amar putusannya, PN Jakarta Pusat meminta KPU untuk menunda tahapan Pemilu 2024 hingga Juli 2025.

Menanggapai hal tersebut ketua DPP partai UMMAT bidang advokasi hukum Juju Purwantoro, SH., MH, mengatakan, sangat di sayangkan keputusan yang di keluarkan oleh PN Jakarta Pusat. Tak pelak, vonis PN Jakarta Pusat tersebut menimbulkan kontroversi dikalangan publik, keputusan tersebut bisa dikatakan sebagai "Peradilan Sesat".

"Dampaknya dapat menyebabkan instabilitas politik dan mengganggu atau intervensi jadwal pemilu 2024 yang sudah ditetapkan KPU," ungkap Juju kepada media Reportase7.com.

Dikatakan Juju, gugatan partai Prima kepada KPU sebenarnya sudah yang ketiga kalinya. Sebelumnya gugatan partai Prima (electoral justice) terhadap KPU agar dapat tercatat sebagai peserta Pemilu 2024, juga telah dua kali gagal. (03/03/2023)

Ditolak atau gagalnya gugatan partai Prima tersebut, yaitu pada saat proses mediasi dengan KPU pada tanggal 20 Oktober 2022 lalu, ditolak oleh Bawaslu dan juga tidak dapat diterima pada proses sidang di PTUN Jakarta pada tanggal 30 November 2022.

"Secara formil gugatan yang diajukan partai Prima tersebut sewajarnya tentu domainnya kasus perdata atau perbuatan Melawan Hukum (PMH) oleh KPU. Dampak hukumnya hanya mengikat antara partai Prima (penggugat) dan KPU (tergugat)," jelasnya.

Lanjut Juju, biasanya materi gugatan perdata adalah untuk melakukan suatu kewajiban tertentu (prestasi) atau ganti rugi. Sejak awal diajukannya gugatan, hakim sudah bisa menilai (klarifikasi) bahwa apakah suatu materi gugatan masuk ranah perdata murni atau sengketa pemilu (tata negara). Jika materi gugatannya adalah tentang Pemilu, tentu hakim bisa menolak, karena bukan kewenangannya (kompetensi absolut) untuk menyidangkannya.

"Faktanya vonis PN Jakarta Pusat tersebut materinya tentang partai peserta Pemilu (Tata Negara) sehingga akan berdampak hukum negatif kepada parpol peserta pemilu yang lain dan kepentingan publik. Materi gugatan yang diajukan ke PN Jakarta Pusat tersebut seyogiyanya domain PTUN," terang advokat senior itu.

Dalam kasus tersebut, hakim telah bertindak diluar kewenangannya, dan telah salah menerapkan hukum (out of law).

Pasal 167 ayat 1 UU No. 7/2017 tentang Pemilu menyatakan, kalau ada sengketa awal, maka proses mediasi oleh Bawaslu. Jika tdk selesai, maka lanjut ke Pengadialan atau PTUN, karena merupakan sengketa Administrasi jadi kewenangannya adalah PTUN.

"Dalam UU Pemilu tidak mengenal istilah 'penundaan pemilu'. Hanya ada istilah 'pemilu lanjutan' atau 'pemilu susulan'. Keadaan itu, misal terjadi Kondisi darurat  (overmacht) atau luar biasa , seperti bencana alam di luar kemampuan manusia,  gempa bumi dahsyat, epidemik, kerusuhan besar atau situasi perang," papar Ketua DPP partai UMMAT bidang Advokasi Hukum Juju Purwantoro.

Kebebasan hakim dalam memutus perkara sangatlah penting, karena hakim harus benar-benar mengabdi kepada keadilan, dan tidak boleh berat sebelah  independen). Terdapat hubungan yang krusial antara keadilan hakim (judicial impartiality) dan kebebasan hakim (judicial independence).

"Tampaknya ada pihak-pihak yang melakukan agenda terselubung (hiden agenda), yang berusaha mengintervensi hakim dalam memeriksa dan memutus perkara tersebut. Hakim seharusnya benar-benar bebas dari pengaruh atau tekanan dari manapun (extra judicial), termasuk dan terutama dari pihak-pihak yang berperkara. Tanpa rasa keadilan dan kebebasan hakim, janganlah bermimpi ada keadilan dan supremasi hukum (rule of law)," pungkasnya.

Pewarta: Red
Editor: R7 - 01