(Foto: Ketua Advokasi hukum DPP Partai UMMAT Juju Purwantoro, SH., MH)


Jakarta - Reportase7.com

Musibah kebakaran hebat yang terjadi di Depo milik PT Pertamina (Persero) di Plumpang, Jakarta Utara pada Jum'at malam 03 Matet 2023. Selain  melumatkan sejumlah bangunan, kebakaran ini juga berakibat 17 orang meninggal dunia, lebih dari 50 orang luka-luka, dan ratusan orang lainnya mengungsi.

Musibah kebakaran tersebut, sesungguhnya berdampak hukum seperti, 'menyimpan api dalam sekam' selama puluhan tahun. Kasusnya adalah status lahan, tentang hak kepemilikannya yang telah ditinggali dan dikuasai sejak puluhan tahun lalu oleh warganya. (10/03/2023)

Ketua Advokasi Hukum
DPP Partai UMMAT Juju Purwantoro, SH., MH, menyatakan bahwa, polemik lahan tersebut sudah terjadi semenjak tahun 1970an silam. Perjuangan masyarakat di Kampung Merah, Plumpang, Jakarta Utara, adalah terkait dengan kepemilikan tanah Hak Guna Bangunan (HGB) oleh Pertamina seluas 1.609.000 M2 (sekitar 16 Hektar).

Pertamina pada tanggal 5 Juni 1976, sebenarnya hanya diberikan HGB sesuai (Kep.Mendagri S.K 190/hgb/da/76) selama 20 tahun. Dengan demikian, Pertamina sudah harus keluar dari lokasi tersebut pada tahun 1996.

Sementara itu pada Januari 1992 atas permohonan Pertamina ke PTUN Jakarta, maka walikota Jakarta Utara harus membongkar paksa  penduduk yang berlokasi dilahan Pertamina tersebut. Atas keputusan itu  penduduk juga mengajukan perlawanan secara hukum. Berbagai upaya mereka lakukan, gugat ke Pengadilan puluhan kali, aduan ke lembaga terkait dan juga ke DPR. Penggusuran paksa masih tetap berlangsung, sementara sengketa hukumnya belum juga ada kepastian.

Dijelaskan Juju, pada Januari 2009 Depo Pertamina Pulumpang terbakar, warga saat itu dijanjikan oleh Gubernernur DKI Fauzi Bowo akan dibangunkan Rusunawa. Faktanya, sampai sekarang belum juga terealisasi, dan warga tetap tinggal di wilayah tersebut.

Pada 13 Maret 2013, Jokowi usai terpilih jadi Gubernur DKI  bersama wakilnya Ahok sesuai janji kampanye politiknya, menerbitkan KTP bagi 715 KK (1.665 jiwa) dan 715 KK bagi warga Kampung Tanah Merah, Plumpang. Jokowi adalah Gubernur DKI pertama  yang memberikan status formal kependudukan kepada warga Kampung Tanah Merah.

Selanjutnya Anies Baswedan saat menjabat Gubernur DKI 2017, juga berusaha memenuhi janji politiknya. Pada saat kampanye, Anies bersepakat secara tertulis (formal) menandatangani 'kontrak politik' dengan warga Tanah Merah, Rawa Badak Selatan, Koja, Jakarta Utara.

"Isi kontrak politik itu antara lain, jika Anies terpilih sebagai Gubernur DKI, warga meminta agar mereka yang sudah bermukim selama puluhan tahun dan dianggap ilegal  bisa dilegalisasi," ungkap Juju.

"Warga juga meminta agar nantinya Anies tidak melakukan penggusuran, melainkan melakukan penataan, perapihan rumah dan prasarana bangunan," lanjutnya.

Seyogiyanya Anies hanya melanjutkan apa yang sudah dilakukan oleh Jokowi, perihal hak-hak warga kampung Tanah Merah setelah mereka memperoleh hak status kependudukan berupa KTP. Hal itu dilakukan Anies, demi warga dapat memperoleh IMB Lingkungan (kawasan) per Rukun Tetangga (RT), sesuai Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 tahun 2010 tentang Bangunan Gedung dan Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Nomor 118 Tahun 2020 tentang Izin Pemanfaatan Ruang. Dengan demikian warga bisa mendapatkan pelayanan publik seperti kesehatan, perbaikan jalan, air bersih, bantuan sisial dan lainnya.

"Sangat tendensius dan naif, kalau ada pihak-pihak yang justru berusaha menyudutkan dan menyalahkan Anies, atas musibah dan status  kepemilkkan hak lahan tersebut," tandasnya.

UU No 5 Tahun 1960, tentang Agraria menegasan bahwa penguasaan dan pemanfaatan atas tanah, air, dan udara harus dilakukan berdasarkan asas keadilan dan kemakmuran bagi pembangunan masyarakat yang adil dan makmur. Sementara itu
Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah 24/1997 yang mengatur tentang pendaftaran tanah menegaskan "seseorang yang menguasai fisik tanah selama kurun waktu 20 tahun secara terus-menerus dapat mendaftarkan diri sebagai pemegang hak atas tanah tersebut".

Penguasaan fisik tanah merupakan hal penting, selama kurun waktu 20 tahun warga Tanah Merah secara terus-menerus telah menguasai dan menempati lahannya. Secara normatif, semestinya warga Kampung Tanah Merah sudah dapat mendaftarkan diri sebagai pemegang hak atas tanah tersebut. Mereka harus memperoleh perlindungan hukum, tidak bisa begitu saja dianggap penduduk liar, dan hanya dijadilan obyek kepentingan politik belaka.

Pewarta: Red
Editor: R7 - 01